Rabu, 21 Maret 2012

Chasing Pavement


Matahari bersinar terik, tak heran bila pucuk kepalanya yang telanjang tanpa topi terasa mendidih. Oh, ia seharusnya berhenti melakukan pemborosan kata-kata hiperbolik. Namun benar adanya, ketika ia meletakkan tangannya ke atas kepalanya, ia akan merasakan suhu setrika. Musim panas tahun ini memang agak tidak manusiawi.
Dan kepalanya mulai terasa pening karena panas yang berlebihan itu. Pandangannya mulai membimbingnya untuk menemukan mata air semu di ujung jalan. Fatamorgana, tentu ia sadar. Namun gadis itu tetap berjalan. Melangkah menapaki trotoar jalanan raya Tokyo yang selalu padat, semakin cepat dan cepat. Terkadang oleng sebentar karena sakit yang merongrong kepalanya, namun apa pedulinya?
Dia butuh tempat pelarian.
Dia harus bergerak menjauh. Dari semua hal yang menahannya untuk tinggal. Entahlah—ia tahu ia butuh pergi. Ia ingin melarikan diri, ke manapun ia tak dapat menemui perasaan itu lagi. Pergi ke tempat yang bisa membuat rasa sakit itu hilang. Bukan, ia tidak peduli dengan pening di kepalanya. Ia peduli dengan satu bagian dari dirinya yang antara nyata dan tak nyata.
Hatinya.
Ia sendirian. Hanya bersama bayangan.
Jalanan Tokyo tak berujung. Ia terus berjalan, berjalan terus, tanpa berhenti mencari. Tanpa sekalipun singgah untuk beristirahat atau sekedar membasuh kerongkongan. Hingga berjam-jam, hingga bajunya kuyup oleh peluh, ia tidak peduli.
Should I give up,
Lalu sosoknya memelankan velositas kakinya ketika pandangannya mulai mengabur. Tubuhnya melemah. Dehidrasi. Mengerjap sebentar—namun sudah terlambat. Gadis itu jatuh tersungkur, gelap. Tak sadarkan diri.
…or, should I just keep chasing pavement?

(Arsafira Jaya M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar