Rabu, 29 Februari 2012

Aneh !! Ada Batu Menangis di Magelang

Berita aneh dan mistik mengiringi bencana erupsi merapi, saat ini datang dari magelang, Dikabarkan ada 3 batu menangis , batu ini merupakan bawaan lahar dingin yang menerpa di Jalan Jogja magelang. ketiga batu itu kini berada di pinggir Jalan Raya Magelang-Yogya Km 23.


Anda dapat menyaksikan foto batu menangis ini.

Ketiganya berwarna sama yakni hitam kemerah-merahan. Salah satu warga setempat, Musrifah mengatakan, awalnya batu-batu itu sama seperti batu lainnya. Batu itu mulai terus 'menangis' ketika salah satu penambang pasir bernama Sutarno, mencoba memecahnya. "Sejak itu, batu-batu itu terus menerus mengeluarkan air. Sampai sekarang nggak kering-kering," kata Musrifah. Bahkan yang lebih mengherankan, Sutarno langsung sakit panas tinggi selama tiga hari.

Menurut Musrifah, Sutarno baru sembuh setelah diminta oleh orang pintar setempat untuk minta maaf. "Baru setelah itu dia sembuh," kata Musrifah. Warga yang mendengar hal itu lantas menghentikan aktivitas menambangnya. Tiga batu itu lantas dipindahkan bersama batu-batu yang lain.
Warga semakin heran ketika berhari-hari, air yang keluar dari ketiga batu itu tidak kering-kering. Padahal batu-batu lainnya, sudah kering, apalagi cuaca beberapa hari ini sangat terik.

"Kita juga heran kok nggak kering-kering kayak batu lainnya. Ini lihat saja, pasir yang ada di bawah batu itu masih basah, padahal pasir di sekitarnya kering semua," kata Musrifah.

Apakah warga percaya ini batu gaib? "Ya mungkin kan selama ini Merapi sering ditambang tapi tidak dijaga, jadi mungkin batu-batu ini merasa teraniaya dan menangis," kata Musrifah.

http://pangkalan-unik.blogspot.com/2011/07/aneh-ada-batu-menangis-di-magelang.html
e-musafir 02 Jul, 2011

Anda Spesial !




Suatu hari seorang penceramah terkenal membuka seminarnya dengan cara yang unik. Sambil memegang uang pecahan Rp. 100.000,00.- ia bertanya kepadahadirin,

"Siapa yang mau uang ini?" Tampak banyak tangan diacungkan. Pertanda banyak minat.

"Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian, tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini."

Ia berdiri mendekati hadirin. Uang itu diremas-remas dengan tangannya sampai berlipat2. Lalu bertanya lagi,"Siapa yang masih mau uang ini?" Jumlah tangan yang teracung tak berkurang.

"Baiklah," jawabnya, "Apa jadinya bila saya melakukan ini?" ujarnya sambil menjatuhkan uang itu ke lantai dan menginjak2nya dengan sepatunya. Meski masih utuh, kini uang itu jadi amat kotor dan tak mulus lagi.

"Nah, apakah sekarang masih ada yang berminat?" Tangan-tangan yang mengacung masih tetap banyak.

"Hadirin sekalian, Anda baru saja menghadapi sebuah pelajaran penting.

Apapun yang terjadi dengan uang ini, anda masih berminat karena apa yang saya lakukan tidak akan mengurangi nilainya. Biarpun lecek dan kotor, uang itu tetap bernilai Rp. 100.000,00.-

Dalam kehidupan ini kita pernah beberapa kali terjatuh, terkoyak, dan berlepotan kotoran akibat keputusan yang kita buat dan situasi yang menerpa kita. Dalam kondisi seperti itu, kita merasa tak berharga, tak berarti.

Padahal apapun yang telah dan akan terjadi, Anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata mereka yang mencintai Anda, terlebih di mata Tuhan.
Jangan pernah lupa - Anda spesial...!!!

sumber : indoforum.org

Selasa, 28 Februari 2012

katak dalam tempurung

Seekor katak lama terkurung dalam suatu tempurung kelapa.
Suatu hari ia berhasil keluar dari tempurung yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat-lompat menikmati kebebasannya.


Di perjalanan dia bertemu dengan katak lain, namun dia heran mengapa katak itu bisa lompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.


Dengan penasaran dia bertanya, "Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku,padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?"
Katak itu menjawabnya dengan pertanyaan, "Dimanakah kau tinggal selama ini?
Semua katak yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan."


Saat itu si katak baru tersadar bahwa selama ini tempurung itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi katak lain yang hidup di alam bebas.


Sering kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan katak tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman,tradisi, dan semua itu membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita.


Sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir dalam bahwa apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acap kali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah Anda bahwa harimau "sang raja hutan" yang sangat kuat bisa diikat hanya dgn tali yang terikat pada pancang kecil? Harimau sudah akan merasa dirinya tidak bisa bebas jika ada "sesuatu" yang mengikat kaki nya, padahal "sesuatu" itu bisa jadi hanya seutas tali kecil.....

Sebagai manusia kita mampu untuk berjuang, tidak menyerah begitu saja kepada apa yang kita alami.

Karena itu, teruslah berusaha mencapai segala aspirasi positif yang ingin kita capai.
Sakit memang, lelah memang,tapi jika kita sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.

Pada dasarnya, kehidupan kita akan lebih baik kalau kita hidup dengan cara hidup pilihan kita sendiri, bukan dengan cara yang di pilihkan orang lain untuk kita.

love story

We were both young when I first saw you
I close my eyes
And the flashback starts
I'm standing there
On a balcony in summer air

See the lights
See the party, the ball gowns
I see you make your way through the crowd
And say hello, little did I know

That you were Romeo, you were throwing pebbles
And my daddy said stay away from Juliet
And I was crying on the staircase
Begging you please don't go, and I said

Romeo take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story baby just say yes

So I sneak out to the garden to see you
We keep quiet 'cause we're dead if they knew
So close your eyes
Escape this town for a little while

'Cause you were Romeo, I was a scarlet letter
And my daddy said stay away from Juliet
But you were everything to me
I was begging you please don't go and I said

Romeo take me somewhere we can be alone
[| From: http://www.elyrics.net/read/t/taylor-swift-lyrics/love-story-lyrics.html |]
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story baby just say yes

Romeo save me, they try to tell me how to feel
This love is difficult, but it's real
Don't be afraid, we'll make it out of this mess
It's a love story baby just say yes
Oh oh

I got tired of waiting
Wondering if you were ever coming around
My faith in you is fading
When I met you on the outskirts of town, and I said

Romeo save me I've been feeling so alone
I keep waiting for you but you never come
Is this in my head? I don't know what to think
He knelt to the ground and pulled out a ring

And said, marry me Juliet
You'll never have to be alone
I love you and that's all I really know
I talked to your dad, go pick out a white dress
It's a love story baby just say yes

Oh, oh, oh, oh
'Cause we were both young when I first saw you

sss

Watch me fall, watch me fall down... 
There's an aching in my skin
I wanna get out, wanna get out
Out of mind
Out of time
Into you
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/k/kina_grannis/missing_you.html ]
They say, "People grow, let it go
Time will heal your bleeding wounds"
But I don't think it's gonna work out that easy
I'll be missing you

More lyrics: http://www.lyricsmode.com/lyrics/k/kina_grannis/#share

sabrina the reason Lyrics

I'm not a perfect person 

There's many things I wish I didn't do 

But I continue learning 

I never meant to do those things to you 

And so I have to say before I go 

That I just want you to know 
sabrina the reason Lyrics



I've found a reason for me 

To change who I used to be 

A reason to start over new 

and the reason is you 



I'm sorry that I hurt you 

It's something I must live with everyday 

And all the pain I put you through 

I wish that I could take it all away 

And be the one who catches all your tears 

Thats why I need you to hear 



I've found a reason for me 

To change who I used to be 

A reason to start over new 

and the reason is You [x4] 



I'm not a perfect person 

I never meant to do those things to you 

And so I have to say before I go 

That I just want you to know 



I've found a reason for me 

To change who I used to be 

A reason to start over new 

and the reason is you 



I've found a reason to show 

A part of me you didn't know 

A reason for all that I do 

And the reason is you 

"Pretend"

It seems all of these words couldn't be further from the truth
How did I get here? What did I do?

Your eyes, telling me lies
And making me find myself
While you have your agenda, a life to pursue

So please,
Let me be free from you.
And please, let me be free
I can face the truth.

I'm blind to all of your colors
That used to be rainbow then
My eyes, where did they go to?
Why disappear?

It's hard to be all alone
I never got through your disguise
I guess I'll just go, and face all my fear

So please,
Let me be free from you
And please, let me be free
I can face the truth.

Put down your world
Just for one night
Pick me again

So please,
Let me be free from you
And please, let me be free
I can face the truth



by : secondhand serenade

Senin, 27 Februari 2012

Lyrics to It's Not Over


My tears run down like razorblades
And no, I'm not the one to blame
It's you ' or is it me?
 
And all the words we never say
Come out and now we're all ashamed
And there's no sense in playing games
When you've done all you can do

But now it's over, it's over, why is it over?
We had the chance to make it
Now it's over, it's over, it can't be over
I wish that I could take it back
But it's over

I lose myself in all these fights
I lose my sense of wrong and right
I cry, I cry
It's shaking from the pain that's in my head
I just wanna crawl into my bed
And throw away the life I led
But I won't let it die, but I won't let it die

But now it's over, it's over, why is it over?
We had the chance to make it
Now it's over, it's over, it can't be over
I wish that I could take it back

I'm falling apart, I'm falling apart
Don't say this won't last forever
You're breaking my heart, you're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together
We could be, over and over
We could be, forever

I'm falling apart, I'm falling apart
Don't say this won't last forever
You're breaking my heart, you're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together
We could be, over and over
We could be, forever

It's not over, it's not over, it's never over
Unless you let it take you
It's not over, it's not over, it's not over
Unless you let it break you
It's not over

lyric

I always knew this day would come
We’d be standing one by one
With our future in our hands
So many dreams so many plans

Always knew after all these years
There’d be laughter there’d be tears
But never thought that I’d walk away 
with so much joy but so much pain
And it’s so hard to say goodbye

But yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know ya
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you

Another chapter in the book cant go back but you can look
And there we are on every page 
Memories I’ll always save
Up ahead on the open doors 
Who knows what were heading towards?
I wish you love I wish you luck
For you the world just opens up
But it’s so hard to say goodbye

Yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know ya
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you

Everyday that we had all the good all the bad 
I’ll keep them here inside
All the times we shared every place everywhere
You touched my life
Yeah one day we’ll look back we’ll smile and we’ll laugh
But right now we just cry
Cause it’s so hard to say goodbye


Yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know ya
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you

quote for you

ya Allah :)
aku hanya bisa melihat nya dengan diam disini..
menyayanginya dengan diam disini..
mengharapkannya dengan diam disini..
satu yang ku pinta ya Allah,
hanya satu :')
jaga perasaannya, jaga hatinya,
lindungi dia dimanapun dia berada..
hanya satu yang bisa aku lakukan :')
simpan perasaanku sampai kapanpun ya Allah ..

TAK LEKANG KARENA WAKTU

Oleh DIANINGTYAS KH   Selasa, 23 Februari 2010 04:23
Dia ada di depan sana sekarang. Seperti pada tanggal dan jam yang sama dua puluh tahun yang lalu. Tapi, sekarang keadaan sudah lain. Saat ini dia bicara di mimbar. Bicaranya tidak lagi berapi-api. Tapi, masih saja mengandung wibawa. Retorikanya semakin menarik, membuat semua yang hadir memperhatikannya.
Beda dengan dulu, saat ia memberi sambutan pada pesta perpisahan sekolah. Nadanya tinggi. Semangatnya menyala-nyala. "Mari kita songsong masa depan yang cerah! Maju terus pantang mundur!" Dan tepuk tangan pun menggema.  Setelah itu ia datang padaku. Duduk di sampingku seraya mengatakan beratnya berpisah denganku. Meyakinkan bahwa ia tak akan melupakanku walaupun ia melanjutkan di negeri Paman Sam. Membuatku percaya bahwa ia akan setia selamanya. Ia mengajakku keluar dari pesta yang pikuk itu. Katanya ia ingin menyendiri saja denganku untuk membuat kesan yang lebih mendalam. Aku tak menolak permintannya. Karena aku memang mencintainya. Bahkan teramat mencintanya. Lalu peristiwa terlarang itu terjadi. Hanya sekali saja.
"Kamu melamun sejak tadi," terdengar suara tepat di telingaku.
Aku menoleh dan membalasnya dengan seulas senyuman pada si empunya suara. Dia! Ya, dia! Dua puluh tahun lalu pun ia duduk di sampingku setelah selesai memberikan sambutan. Seperti saat ini.
"Pidatomu bagus," kataku tulus, untuk menutupi kejut yang tiba-tiba datang di dadaku.
"Aku tak yakin apakah kamu benar mendengarkan pidatoku tadi."
Pandangannya masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Tajam tapi menggoda. Usia bahkan mungkin tak mampu mengubah cara mata itu bersinar.
"Kamu meragukanku?" tanyaku. Mungkin kalimat retorika seperti itu juga pernah kuucapkan padanya ketika ia menanyakan apakah aku mencintainya.
"Pesta yang meriah," katanya.
"Hajatmu sukses," kataku mersesponnya. Dia memang ketua reuni. Dia diam.
"Aku kangen kamu," katanya seolah tak mendengar pujianku tadi padanya.
"Berapa anakmu sekarang?" tanyaku.
Beginilah, acara-acara reuni semacam ini pasti akan dimanfaatkan untuk pamer keluarga.
"Dua," sahutnya malas.
Aku tersenyum mafhum. Mungkin ia tidak ingin aku bertanya lebih jauh mengenai keluarganya. Tapi, aku tak ingin ia bermalas-malasan menjawab pertanyaanku.
"Pasti tampan dan cantik."
"Semuanya tampan. Padahal aku ingin seorang putri. Istriku tak mampu memberikannya.”
Jadi itu masalahnya. Aku tak bertanya lebih lanjut. Mungkin istrinya sakit. Diam-diam aku merasa bersalah telah merusak suasana dengan menanyakan  keluarganya. Kami terdiam beberapa saat.
"Berapa anakmu," tanyanya tiba-tiba.
Aku sedikit terkejut. Tetap dengan ketenangan yang nyaris sempurna aku menjawabnya.
"Berapa anakku? Satu. Perempuan."
"Suamimu...," ia tak melanjutkan pertanyaannya.
"Pergi. Menikah dengan perempuan lain."
Ia menatapku dengan pandangan tak mengerti. Aku kembali tersenyum padanya. Kali ini dengan sedikit mengangkat bahu.
"Sudah lama. Aku mampu, kok, hidup tanpa dia. Aku sudah cukup bahagia hidup bersama Intan."
"Kamu..."
Aku mengisyaratkan padanya dengan jari agar ia tak melanjutkan ucapannya. Jeda sesaat.
"Kupikir kamu tak akan datang," katanya.
"Kenapa tidak?"
"Aku kehilangan kontak denganmu selama ini."
"Kamu juga menghilang tanpa kabar."
"Aku sudah mencoba menghubungi kamu. Tapi, tak pernah ada jawaban. Kamu hilang seolah ditelan bumi."
"Aku tinggal bersama Eyang setahun setelah UMPN-ku gagal."
"Kamu semakin cantik."
Pokok pembicaraan yang meloncat-loncat, pikirku.
"Terima kasih. Tapi, uban di kepala dan keriput di wajah tak mampu membohongi orang bahwa aku jauh lebih jelek dibanding dua puluh tahun yang lalu."
"Kamu semakin dewasa dan matang."
Pujiannya semakin lama semakin menjadi. Dan hal ini setidaknya membuat jantung tuaku berdenyut dua kali lebih kencang.
"Jangan coba-coba merayuku hanya karena aku tak bersuami," bentakku lirih dengan nada bergurau.
Dia diam. Kemudian aku menolehnya. Ternyata, oh Tuhan, ia tengah menatapku dengan pandangan mata yang begitu memuja. Bahkan lebih memuja dibandingkan dua puluh tahun lalu.
Untung saja aku terselamatkan oleh suara MC yang memanggilnya untuk maju ke depan.
"Aku segera kembali," katanya.
"Aku segera pulang," sahutku tak mau kalah. "Anakku menungguku."
****
Ting tong.
Pagi-pagi begini sudah ada tamu. Mungkin pertanda akan ada tamu secara beruntun hari ini. Padahal ini hari minggu. Dan semalam aku kecapaian. Aku ingin istirahat.
Aku segera membuka pintu. Dia ada di muka pintu. Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Seingatku aku tak pernah memberinya kartu nama. Bahkan undangan reuni pun kudapatkan informasinya dari iklan teve.
"Aku mengikutimu tadi malam.”
Mau tak mau aku mempersilakannya duduk. Secangkir kopi mungkin dapat kusuguhkan padanya pagi-pagi begini. Baru juga pukul tujuh.
Belum sempat aku beranjak ke dalam, Intan keluar. Kulihat ia tersenyum menyapa kami berdua.
"Ada tamu rupanya," sapanya.
"Teman Mama. Kasih salam dong sama Om Alex."
Intan mengulurkan tangannya pada Alex sambil mengucapkan salam. Alex terlihat sedikit ragu ketika menyambut uluran tangan itu.
"Intan pergi dulu ya, Ma. Nini pasti sudah menunggu."
"Hati-hati di jalan."
Intan pergi setelah memberikan ucapan selamat tinggal pada Alex dan ciuman tangan padaku. Pandangan Alex masih saja lekat padanya, sampai ia menghilang di balik pintu gerbang.
"Sudah besar rupanya anakmu."
"Sembilas belas tahun lebih tiga bulan."
Aku sungguh tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tapi, ia memandangku dengan wajah yang berubah-ubah dan pandangan mata yang aneh. Aku merasakan bahwa ia sedang menuduhku lewat sorot matanya.
"Jadi kamu…," ia tak melanjutkan uacpannya. Aku diam menunggu kata-kata selanjutnya.
"Pantas saja kami menghilang dariku. Rupanya kamu menikah dengan laki-laki secepat ini. Karma telah menimpamu ketika suamimu pergi dengan wanita lain. Karma karena kamu telah meninggalkanku begitu saja!"
Ia berucap begitu sambil menudingku. Ya, menudingku. Seolah akulah segala penanggung dan penyebab persoalanku dengannya.
"Jangan berkata jika kamu tak tahu apa yang kamu katakan. Kamu sama sekali tak tahu apa-apa."
"Aku sudah tahu segalanya sekarang."
Ucapannya masih saja keras.
"Karma telah menimpaku sejak pertemuan kita yang terakhir malam itu..." Aku sengaja tak melanjutkan ucapanku. Biar dia mencari sendiri makna kata-kata itu. Jeda sesaat. Kubiarkan terlewati tanpa kata. Aku tak mau memandangnya. Karena aku tahu ia tengah memandangku dengan tatapan tak mengerti.
"Jadi dia..."
Aku diam. Tak merespon ucapannya. Tak menanggapi tatapannya. Toh, tak ada gunanya menjawab semua yang dipertanyakannya. Ia toh sudah tahu bahwa Intan adalah putriku dan putrinya. Meski ia tahu, semua tak mungkin bersatu. Ia sudah punya istri dan anak-anak. Aku tak mungkin masuk begitu saja dalam kehidupan mereka walaupun aku punya Intan.
Aku dan Intan hanya sisa dari puing-puing masa lalu laki-laki yang kini tengah duduk di depanku dan sedang memandangku penuh harap. Tapi puing dari masa silam tak mungkin dipunguti lagi.
"Katakan. Dia anakku, bukan?"
"Ya. Dia memang anakmu. Tapi jika kamu menanyakan hal lain, aku jawab tidak."
Aku melihat dia menarik nafas lega. Matanya berbinar. Keinginannya untuk punya anak perempuan terpenuhi. Sesaat dia terdiam. Lalu dia mengambil KTP dari dompetnya. Ditunjukkannya KTP itu padaku.
"Lihat ini. Aku belum menikah. Masih bujang," katanya.
Aku semakin tak mengerti. Apa-apaan ini.
"Semalam aku membohongimu. Aku mencoba mengujimu apakah kamu jujur untuk membicarakan tentang keluargamu. Kupikir kamu akan malu menceritakan keadaan keluargamu jika kamu tahu bahwa aku belum berkeluarga. Ternyata kamu jujur. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menyadari getaran-getaran dalam bicaramu. Aku mencintaimu. Sehingga aku bertekad terus membujang sebelum dapat menemukanmu. Aku merasa bersalah."
Kalimat-kalimat panjangnya sudah selesai. Tapi otakku masih saja sulit mencerna makna kalimat itu. Kurasakan aku memang bebal. Dan aku semakin terkejut saat tiba-tiba Alex menarikku ke dalam pelukannya dan memberiku ciuman.
"Ingat, Lex. Aku tak ingin peristiwa bodoh itu terulang lagi," kataku sambil menjauhkan diri darinya. * * *

BANGKU TERMINAL

Oleh RAHMAN   
Selasa, 23 Februari 2010 04:21
Malam kemarin.
Panggil saya Simon. Di terminal ini saya adalah kucing liar, yang mencoba untuk menancapkan kuku-kuku rapuhnya. Kususuri lorong-lorong gelap, berlarian di antara gang-gang becek. Berebut makan dan tempat tidur dengan sesama. Buat kami, tak penting apa yang akan terjadi esok. Bahkan kiamat pun kami tak peduli. Terkadang saya berharap, begitu membuka kelopak mata keesokan harinya, kiamat sudah datang.
Orang lalu-lalang, berbicara tentang banyak hal. Tanpa sedikit pun memberikan ruang buat saya untuk bertanya, tentang apa yang mereka perbincangkan. Sepertinya saya ini tak ada, sepertinya kami ini para gembel jalanan. Hanya hiasan sudut-sudut kusam kota, pelengkap dari sebuah kehidupan di megapolitan yang maha-ganas ini. Satu jiwa yang tertidur, dari sejuta yang terlelap. Mendengkur riuh, meski cuma beralaskan kardus bekas, berbantalkan sebelah tangan. Gembel tua itu tertidur, di tempat yang kemarin. Ia menggeliat sejenak, sebelum kembali meringkuk dan mendengkur riuh.
Saya tak kenal dia, ia juga tak kenal saya. Begitu pula halnya kalian, tak kenal saya ataupun dia. Kita tak saling kenal, bukankah sesungguhnya kita hidup untuk saling mengenal? Dalam dekapan embun yang terkontaminasi karbon dioksida knalpot kendaraan siang tadi, kami para gembel jalanan menikmati malam.
Mungkin saja gembel tua itu bermimpi, seperti halnya benak saya yang sedang terbang menari di dalam ruang khayal. Mengendarai BMW dengan diiringi musik top fourty. Pasti saya akan mencibir, seraya mendenguskan napas muak. Melihat para gembel jalanan yang sedang lalu lalang menyanyikan nada pilu, berharap ada sekeping mata uang. Buat beli sebutir nasi.
Tiga tahun lalu saya masih duduk di bangku SD kelas lima. Dan malam ini saya duduk di bangku terminal Lebak Bulus. Memandangi pekat, ditemani dengkuran gembel tua dari sudut sana.
Harusnya sekarang ini saya sudah berseragam putih biru. Dan tengah sibuk dengan pelajaran karena sebentar lagi akan EBTA, seperti yang dibicarakan anak-anak sekolah sore tadi. Bagaimana rasanya duduk di bangku SMP sebagai murid kelas dua? "Ah..." desah saya. Saya tarik oksigen dalam-dalam mengisi rongga dada, menahannya sejenak. Baru kemudian menghembuskannya perlahan.
Gembel itu memincingkan matanya dengan malas, ketika saya merebahkan badan di atas bangku. Saya bertanya pada diri sendiri apa yang mengisi benaknya? Tidakkah dia menginginkan sebuah kehidupan, sebuah keluarga? Sekali lagi saya cuma bisa mendesah. Ah, bukan urusan saya.
Saya pun memejamkan mata, teringat kembali akan Abah dan Emak yang telah meninggal. Rindu. Lebih tepatnya saya butuh mereka. Seandainya mereka masih ada, tak harus saya hidup seperti ini.
Abah cumalah seorang buruh angkut di Tanjung Priok, tapi itu sudah cukup buat membiayai hidup kami yang tinggal di rumah kontrakan. Sementara itu, untuk membantu jalannya perekonomian keluarga, Emak jadi kuli cuci, sedangkan sepulang sekolah saya menjadi loper koran.
Suatu hari entah persisnya kapan, mayat Abah diketemukan bersimbah darah. Menurut cerita orang-orang, Abah  dibunuh oleh sekelompok preman yang gusar karena Abah tak mau bayar uang keamanan kepada mereka.
Sepeninggalan Abah, hidup kami morat-marit tak karuan. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pernah sempat saya dan Emak tidur di gerbong kereta. Saya terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena Emak tak mampu membiayai. "Wong untuk makan saja susah," begitu kata Emak.
Akhirnya, kami terjerumus ke lembah hitam. Emak jadi pelacur di Tanah Abang. Entah bagaimana awalnya, Emak mau jadi pelacur. Satu yang pasti, kehidupan kami  mulai membaik. "Mudah-mudahan tahun depan kamu sudah bisa sekolah lagi," begitu tutur Emak yang menggadaikan tubuhnya untuk memuaskan birahi, demi lembaran kertas bernama uang. Belum sempat aku meneruskan sekolah, Emak pun menyusul Abah, meninggal karena terkena penyakit kotor. Tinggallah saya sendirian. Tak tahu harus bagaimana. Harus kemana.
Uaah... saya menguap. Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih meringkuk bertabur dengkuran. (Kelak di kemudian hari, gembel tua itu akan saya panggil dengan sebutan Abah). Dan saya pun  terlelap di sini. Di bangku terminal.
***
Ciputat, siang tadi.
Namaku Aryani. Ayah dan dua kakak tiriku memanggil dengan sebutan Nona Bego. Entah apa sebabnya, mungkin lantaran aku ini memang bego. Terkadang masih saja aku kutuki ketololanku tersebut. Kenapa aku terima begitu saja perlakuan ayah tiriku? Bukan, dia bukan ayah! Dia adalah iblis yang bertameng sebagai ayah. Coba pikir, ayah macam apa yang bisa meniduri anaknya, walaupun aku hanyalah anak tirinya? Tetap saja aku masih anaknya.
Entah sudah berapa kali Ayah meniduriku. Untung saja aku tak hamil. Sebab jika aku hamil, harus panggil apa anakku terhadap ayah sekaligus juga kakeknya? Usiaku baru dua belas tahun waktu itu.
Aku akhirnya melarikan diri dari rumah, berkelana. Menarikan lekuk tubuhku yang mulai terbentuk karena sekarang aku sudah enam belas tahun. Asal tahu saja, aku bukanlah pelacur. Dan tak mau aku menjadi pelacur, tak akan pernah.
Terus meliuk aku mengikuti ritme gelombang kehidupan ciptaan manusia. Meski terkadang aku teramat lelah untuk menjadi manusia. Aku rindu Ibu, rindu hangat pelukannya. Lembut suaranya kalau mendongengkan senandung tembang jiwanya. Hingga akupun terlelap di dalam pelukan nyamannya. Aku rindu Ibu.
Aku yakin, di alam sana Ibu menangis melihat nasib putrinya ini. Ibu, berilah Ar kekuatan. Kembali aku hanyut dalam kepiluan, hiruk pikuk kendaraan tetap melaju tak peduli dengan jerit batin ini. Kuhampiri tenda warung tegal memainkan sebait lagu, berharap  ada sekeping atau dua yang masuk ke saku.
Senja mulai merayap, semburat kilau jingganya menyapu permukaan. Ragaku lelah, seperti halnya dengan mentari yang mulai mengantuk perlahan masuk ke dalam peraduan. Tapi di mana peraduanku? Aku jadi ingat dengan seorang teman, seorang sahabat yang selalu bersedia mendengarkan setiap keluhku. Di mana dia sekarang? Tak terasa sudah sebulan kami tak saling sua.
Wisnu, nama temanku itu. Tapi aku lebih suka memanggilnya Simon atau si Monyong. Karena ketika dia marah, bibir tebalnya itu terlihat lebih monyong. Seperti bibir... hi...hi... Aku jadi terkikik sendirian. Rindu aku padanya, masihkah dia di terminal Lebak Bulus? Setelah menimbang-nimbang sejenak, akupun memutuskan untuk mengunjungi Simon nanti malam. Di terminal Lebak Bulus, semoga dia masih di sana.
***
Malam ini di tempat kemarin.
Panggil saya Simon. Malam kian menghitam, kelam bertebaran   tutupi warna angkasa yang muram. Dengan segenap kelelahan, dari bangku terminal ini saya tatapi sang malam. Gembel tua itu sudah terlelap di tempat yang kemarin.
Malam ini.
Sungguh amat ingin saya berkata-kata, membagi cerita, angan, serta harapan. Tapi pada siapa? Saya tebarkan pandangan ke sekeliling, cuma temaram sinar lampu menyapa resah nurani ini. Saya tebarkan pandangan ke angkasa, mencoba untuk berkata-kata kepada bintang yang sedang mengedip manja, kepada rembulan yang tersenyum simpul di antara arakan awan masam.
Suara serak kekanak-kanakan itu, membuyarkan lamunan. Saya putar leher ke arah panggilan, seulas senyum terlontar dari bibir ini. "Ar!"
"Pa kabar, Mon?"
"Lumayan."
"Kamu?"
Ar tersenyum, "Sama."
Aku mendekatkan tubuh ke arah letak duduk Simon, butir getaran merambat perlahan. Sebuah gejolak aneh, yang entah datangnya darimana. Selalu saja hadir, mengusikku ketika aku dekat dengan Simon seperti malam ini.
Aku pandangi Simon, dia tersenyum ketika mata kami saling taut. Entah dapat keberanian darimana aku bertanya. "Kenapa kamu tak pernah mau, Mon?"
Simon mengernyitkan alis tebalnya, kemudian balik bertanya, "Mau apa?"
Aku jadi tersipu, sejenak tertunduk. Sebelum kembali aku pandang sipit bola mata Simon, "Bukan apa-apa," sahutku berbohong. Kembali aku geser letak duduk lebih merapat ke arah Simon.
***
Hangat tubuh Ar mendamaikan, sungguh! Hasrat berkata-kata yang tadi amat meletup-letup menjadi redup. Saya lebih suka diam, menikmati hangat tubuh Ar. Tanpa sadar saya pun merangkul pundaknya, dan kemudian merebahkan kepalanya ke pundak. Dengan lembut saya remas-remas rambut lurusnya yang dibiarkan oleh Ar terurai sepundak. Memainkannya dengan jemari.
Ada semacam getar yang terus mengusik saya, ada sebuah tanya yang mengganjal lubuk hati ini. Mungkinkan gembel macam kami bermain asmara, membina suatu hubungan untuk kemudian mengikatnya dalam sebuah tali perkawinan? Cuma suara dengkuran gembel tua yang  meringkuk di sudut sana menjawab tanya saya.
"Bisakah kita?"
"Bisa apa, Mon?" tanya Ar.
"Menjadi sepasang kekasih?" tanya saya ragu.
"Bisa saja."
"Kamu yakin?"
"Yang terpenting itu cinta. Jika ada cinta, apa pun bisa, apa pun menjadi boleh."
Saya cuma terdiam, masih memainkan helai-helai rambut Ar. Tiba-tiba saja Ar mendongakkan wajahnya, kemudian mencium bibir ini. Saya cuma mengikuti naluri, kemudian kami pun sudah saling mengulum bibir mesra. Bersemaikan birahi, di atas bangku terminal yang mulai berdecit teratur. Kami bercinta, merengkuh nikmatnya madu dosa.
Saya pun sadar, kami cumalah gembel jalanan. Tapi tak bolehkah kami turut merasakan manisnya cinta? Mencicipi sedikit kebahagiaan? Meski cuma di atas bangku terminal bukan di ranjang empuk bersprei perak?
Ar sudah tertidur dalam pelukan, getar napasnya terdengar beraturan. Dosa, rasa itulah yang menghantui. Saya hela napas panjang, tapi kenapa terasa begitu damai! Saya peluk tubuh Ar, membisikkan kata sayang di telinganya. Ia pun menggeliat manja, saya kecup keningnya.
Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih saja mendengkur di sudut sana. Yang sama sekali tak dipusingkan oleh tanya tentang cinta, saya lemparkan senyuman kepada gembel yang masih terlelap itu. Kemudian saya peluk erat-erat tubuh Ar (yang kelak di kemudian hari nanti akan saya panggil dengan sebutan Mama).
Ooo...aah...uuumm, saya menguap. Dua hitungan kemudian memejamkan mata. Dan tertidur di atas bangku terminal, seraya mendekap erat tubuh Ar.

Yang Menangis di Balik Pintu

Oleh ademin   
Rabu, 22 September 2010 06:12
Dilan merapatkan jaketnya. Angin malam mendesau dan berloncatan masuk ke dalam rumah, meniup bulu kuduknya dan mendinginkan tapak kakinya. Entah mengapa angin malam ini teramat asing. Ia mendongakkan kepalanya ke langit. Berserak bintang-bintang yang tak seberapa. Lalu mulai melangkah menuju tempat yang sama sekali tak ada dalam peta rencananya sambil iseng menghitung bintang yang terangnya dikalahkan lampu petromaks di ujung gang.

Ia berjalan menyusuri trotoar yang penuh lobang. “Aku ingin sekali memakan sesuatu yang teramat masam.” Dilan teringat permintaan istrinya ketika ia selesai sholat malam. Dalam pikirannya, tak ada makanan yang lebih masam ketimbang rujak. Ya, rujak akan memenuhi selera istrinya. Tapi malam begitu kental pekatnya. Dan angin seperti menusuk-nusuk dengan kukunya yang semu.
****
Rasni memandang tetesan demi tetesan cairan infus yang jatuh ke selang. Begitu pelan. Tetesan cairan itu jatuh bersamaan dengan butiran-butiran airmata dari danau matanya. Kemudian sesuatu —entah di mana— lamat-lamat terdengar suara, seperti tangis seorang bayi. Tapi tak ada. Tak ada.
“Apakah ranjang bayi pesanan kita sudah datang?” tanya Rasni pada Dilan suaminya. Suaranya begitu tipis terdengar di telinga Dilan.
Dilan tak mengucap sebuah jawab
“Susu untuk ibu hamil itu masih ada? Rasni kembali bertanya. Namun Dilan kembali tidak mengucap sebuah jawab. “Kau tahu? Aku sudah menyelesaikan rajutan kaus kaki yang lucu untuk anak kita. Kau mau lihat ?”
“Kau istirahat saja. Tubuhmu masih lemah.” Akhirnya Dilan melepas suara. Lalu ia beranjak keluar dari ruang rawat inap itu. Dan kemudian terdengar suara seperti tangis yang tertahan di balik pintu.
Seketika darah dalam kepala Dilan menggelegak. Ia ingin marah dan berteriak sekuat tenaganya. Tapi tak ada siapa pun di rumah sakit itu yang patut ia marahi. Pula kepada Tuhan. Ia tak punya sedikit pun keberanian untuk protes kepada Tuhan perihal lebatnya bencana yang menimpa dirinya dan istrinya, Rasni. Dilan pun urung melepas teriakannya. Lalu kemudian kembali menghampiri Rasni yang terbaring lemah dengan sebuah selang berjarum di tangan kirinya.
Ia membelai lembut kening Rasni. Menatap matanya dalam-dalam dan memaksakan sebuah senyum di wajahnya.
“Kau tahu, sayang. Air matamu yang jatuh perlahan itu terlalu mahal harganya. Kita tak akan sanggup membelinya kembali ketika air itu habis. Cairan infus di tabung itu belum seberapa harganya ketimbang air mata itu” Bisik Dilan kepada istrinya. Namun Rasni tetap menangis.
Di luar orang-orang berlalu-lalang dari sudut dan simpang yang berbeda-beda. Hujan pun turun dengan kejam. Rasni dan Dilan merasa seperti sepasang manusia yang terasing dari peradaban. Tak akan ada yang menjenguk parasaan mereka.
“Maukah kau mendengar lagi cerita tentang kanak-kanak yang berlarian di surga?”
“Aku sudah jemu mendengarnya. Kau selalu menceritakan itu padaku setiap malam.” Jawab Rasni.
“Tapi kali ini berbeda, sayang. Di surga itu kini ada seorang kanak yang baru saja datang. Kau tahu? Mereka sangat bahagia dengan kedatangannya. Malah ada yang teramat iri melihat sayap di punggung anak yang baru datang itu.”
“Apakah itu anak kita?” tanya Rasni.
“Ya, itu anak kita. Ia sangat berbahagia di sana. Ia juga sangat berbahagia telah menjadi bagian dari cerita kita ini.” balas Dilan.
“Tapi aku ingin ia ada disini. Mengenakan kaus kaki lucu rajutanku, atau bermain dengan sepeda mungil itu. Seharusnya ia bersama kita kan?”
“Ia adalah anak yang terpilih. Ia telah ditakdirkan untuk mengenakan kaus kaki lucu itu di surga. Di sana ia juga bisa bermain sepeda sepuasnya.” Balas Dilan sambil membenarkan letak bantal di pundak istrinya.
“Tapi aku sangat ingin ia ada di sini. Bersama kita.” timpal Rasni dengan binar mata yang mulai berkaca-kaca.
“Kau tahu, sayang. Sebagai orang tua kita sudah berhasil mengantarkannya ke tempat paling menawan. Ia tidak perlu bergelut dengan sandiwara konyol di dunia ini. Kita mestinya berbahagia bukan?” Dilan mencoba meyakinkan istrinya.
“Lalu kepada siapa harus kita berikan nama-nama yang kita reka dulu? Bukankah dialah yang sepatutnya menyandang nama itu.” rajuk Rasni dengan suara serak. Ia mencoba menahan dirinya untuk tidak menangis. Dan itu usaha yang gagal.
“Suatu saat Tuhan akan mengirimkan lelaki tampan atau perempuan jelita untuk kita berikan nama-nama itu. Kita hanya harus mengabadikan kesabaran. Kemasilah kesedihan di dalam dada dan matamu itu. Kita tak perlu bertangisan.” Ucap Dilan sembari menyeka air yang jatuh dari mata istrinya yang tiris. “Besok pagi kita akan pulang. Untuk sementara kita akan tinggal di rumah Ibumu. Aku akan berusaha merebut kembali rumah kita yang dieksekusi itu.” bujuk Dilan pada istrinya agar ia bisa mengusir kabut di wajahnya.
Paginya mereka meninggalkan rumah sakit itu. Setelah rumah mereka dieksekusi, mereka memilih menetap di rumah orang tua Rasni sambil berharap mereka bisa mendapatkan rumah mereka kembali. Masih kuat ingatan di kepala Dilan ketika istrinya jatuh dari tangga setelah mendengar kabar dari pengadilan bahwa mereka harus melepaskan hak mereka terhadap rumah mereka sendiri. Pengadilan memutuskan bahwa sesorang yang sekalipun tak pernah mereka temui memiliki dokumen sah terhadap tanah yang saat ini ditempati Dilan dan Rasni. Ketika itulah mereka harus menerima kenyataan bahwa sebuah kamar mungil di rumah mereka yang antik mungkin tak akan pernah digenangi pipis oleh seorang nyawa telah gugur dari kandungan Rasni—entah karena shock atau jatuh.
Ketika makan malam, Rasni meminta Dilan untuk membuatkannya segelas susu untuk ibu hamil dan mengambilkannya suplemen yang biasa ia minum.
“Sudahlah, Ni. Susu dan suplemen itu tak perlu lagi kau minum. Kuatkanlah hatimu. Suatu saat kau pasti akan meminum susu itu lagi.”
“Apa maksudmu? Aku harus rutin meminum susu dan suplemen itu. kalau tidak kandunganku tidak akan sehat.”
Dilan berhenti menaruh sendoknya dengan pelan ke bagian kanan piring. Ia ingin mengatakan bahwa setelah keguguran, susu dan suplemen itu tak perlu diminum lagi. Namun ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk tetap membuatkan susu itu untuk Rasni.
Tatapan mata Rasni seperti sebuah ruang kecil samar dan kosong setelah meminum susu buatan suaminya. Terkadang ia salah menyuapkan makanan ke mulutnya sehingga makanan itu berlepotan di dagu atau di pipinya. Dilan mencoba untuk memaklumi sikap istrinya yang belum terbiasa dengan musibah itu. termasuk dengan permintaan-permintaan konyol yang sering terlontar dari mulut istrinya tersebut, seperti permintaan untuk dibelikan buku cerita anak-anak, kaset tape untuk ibu yang sedang mengandung, majalah balita atau buku panduan senam untuk kesehatan janin.
“Seandainya dulu kita tidak makan di piring sumbing itu, pasti semua tidak akan begini.” Ucap Rasni masih dengan tatapan mata kosong. Dilan hanya bisa terpaku diam mendengar istrinya bicara. “Aku rasa ini kutukan dari ular dan tikus yang kau bunuh ketika azan magrib itu. atau karena jimat kampung yang katamu menjaga keselamatan itu” lanjut Rasni.
“Ini tak ada hubungannya dengan mitos-mitos itu.” akhirnya Dilan mengomentari perkataan istrinya.
“Kalau bukan karena itu, tentu kita sudah mendengar suara bayi kan di rumah ini!” balas Rasni.
“Inilah yang disebut takdir, Rasni. Semua sudah ada di catatan rencana Tuhan.” Dilan kembali menimpali.
“Tapi jika saja dulu kau mau mengganti piring yang ujungnya sumbing itu, rutin mengantarkanku setiap minggu ke dokter atau tidak membunuh ular dan tikus-tikus itu, tentu hal ini tidak akan tercatat di rencana tuhan itu bukan?”
“Piring-piring sumbing, jimat, sambal pedas, buah pinang, ular dan tikus itu juga sudah termasuk rencana tuhan, Rasni. Aku tahu kau kecewa. Tapi kini aku ingin kau menjadi perempuan yang kuat, Rasni.” Balas Dilan dengan suara yang menggelegar. Kemudian terdengar suara hempasan pintu kamar yang mengagetkan cicak-cicak yang barangkali ikut mendengar pembicaraan mereka tadi. Lalu dari luar terdengar sesuara. Seperti tangisan. Entah siapa yang menangis di balik pintu, namun yang pasti, semenjak itu tangisan selalu terdengar ketika malam. Tangisan itu selalu diawali oleh bunyi hempasan pintu lalu dibarengi oleh bunyi piring atau gelas pecah.
 ****
Azan magrib di masjid belakang rumah Dilan belum selesai ketika dengan tiba-tiba Rasni merasa sesuatu akan meledak dari perutnya. Sesuatu yang tak bisa di tahan dan harus dimuntahkan. Ia bergegas berlari sekuat tenaga menuju kamar kecil meski ia merasa seperti dihoyong gelombang.
Namun, badai dari dalam perutnya tak tertahankan dan terlanjur dimuntahkan sebelum ia sampai di kamar kecil. Kemudian ia terjatuh dan tak mengingat apa-apa lagi sampai ia menemukan dirinya terbaring di kamarnya, dan disana ada suaminya yang sedang mengulum senyum bersama Bapak Fendi yang merupakan seorang dokter spesialis kandungan yang sudah satu tahun lebih tidak dijumpainya.
“Kau masih ingat bapak Fendi ini kan, sayang? Kau tahu untuk apa beliau setelah sekian lama kembali menengok kita?” sambut Dilan ketika istrinya telah sadarkan diri. Rasni menggeleng pertanda ia tak mengerti.
“Akan ada sebuah nyawa mungil di dalam perutmu ini.” sambung Dilan sekenanya hingga membuat Rasni tak sanggup berkata suatu apapun kecuali membahasakan keceriaannya dengan mata yang berkaca-kaca.
Lalu dengan tiba-tiba, ketika jam dinding berdentang di tengah malam, Rasni meminta Dilan untuk mencarikannya sebuah makanan yang sangat masam. Sebuah makanan yang sanggup melawan pahit di ludahnya. Walaupun angin malam begitu menusuk tubuhnya, Dilan menyanggupi untuk mencari makanan yang masam untuk istrinya.
Dengan menyusuri trotoar yang lengang, Dilan berharap bakal menemukan orang yang menjual rujak. Ia terus mencari meski ia tahu selarut ini tak akan ada orang yang berjualan rujak kecuali deretan gerobak sate, nasi goreng, kacang goreng dan sekoteng. Namun, sesuatu dalam dadanya menguatkan kakinya untuk mencari orang yang berjualan rujak yang masam itu, karena betapa ia telah jemu menangis dan mendengar tangisan di balik pintu.
Dan betapa ia merindukan sebuah tangisan lucu yang memecah malam di balik pintu itu. Maka untuk itu ia merelakan dirinya untuk mengganti piring-piring yang sumbing di rumahnya dengan piring baru, dan berjanji untuk tidak membunuh ular, lipan, tikus atau serangga dan nyamuk sekalipun karena betapa ia merindukan suara tangisan yang lugu dan lucu di balik pintu yang kerap menggoda mimpi-mimpinya itu.
Ruang Sempit, 2008
Cerpen: Arif Rizki

Perempuan yang Menunggu Takdir

Oleh ademin   
Rabu, 22 September 2010 06:05
Ia berjalan dengan kedukaan yang sangat. Perempuan muda lembut itu. Tami, Sri Utami nama lengkapnya. Matanya nanar, memerah basah. Ucapan lancip sang ibu terngiang menggelayut batin.
“Nduk, laki-laki itu pemimpin dalam keluarga. Patuhi suamimu!”
Tami tidak menolak dan memang tidak pernah berusaha menolak. Dosa! Kata ibunya, kitab suci sudah mengatur kedudukan laki-laki dan perempuan. Bukan demi laki-laki, tapi semata-mata demi kita, kaum perempuan. Kitab suci tidak mungkin keliru, sebab yang keliru itu manusia. Dalam tubuh manusia ada otak dan nafsu. Otak dan nafsu itulah yang membuat manusia keliru. Jangan gunakan keduanya secara penuh. Liar nantinya. Saringlah dengan hati.
Begitulah hukum Tuhan mengatur dirinya. Tami percaya. Ia melihat ibunya sejak kecil begitu pasrah, menghamba kepada ayah. Ayah adalah pemimpin. Karena pemimpin, ayah berhak mengatur jalannya rumah tangga. Ayah adalah kepala. Karena kepala, ayah menentukan setiap keputusan yang diambil. Ayah tak ubahnya penguasa. Kuasa ayah tidak tergantikan, karena memang tidak ada yang bisa menggantikan. Tidak juga kakek, orang tua ayah, lelaki tua yang biasa memegang kepala Tami setiap kali bertemu di kesempatan liburan sekolah dan bertanya dengan welas.
“Apa cita-citamu kelak, Tami?”
Tami tidak punya jawaban karena sejak kecil ia terlatih untuk tidak memiliki pertanyaan. Ia malah tertawa geli melihat gigi kakek yang ompong di sana sini. Kakek penasaran.
“Tami, kalau besar ingin jadi apa?”
Tami tidak ingin melihat kakek tersinggung, apalagi marah. Tami tidak mau kehilangan kasih kakek yang kerap menjadi benteng terakhir di saat ayah dan ibunya marah. Tami menjawab ringan dengan mulut tertahan.
“Jadi orang baik, kek.”
Kakek memaklumi jawaban sederhana cucu perempuannya itu. Kakek diam sebentar untuk kemudian memberikan pesan yang tertancap di benak bawah sadar Tami hingga ia dewasa, menikah, dan punya anak.
“Kalau mau jadi anak baik, hormati, sayangi, dan patuhi ayah-ibumu, juga kakakmu.”
Anak baik? Hormat, sayang, patuh? Kata-kata itu adalah mantera sakti. Ketiganya wajib dipegang Tami kuat-kuat bila dirinya ingin menjadi anak baik. Sekali kata itu lepas, segalanya akan berantakan. Hormat, sayang, dan patuh untuk Mas Ninok, kakak laki-laki satu-satunya yang sejak kecil sudah tergila-gila dengan ilmu beladiri sehingga selalu menjaga dan bahkan mengatur dirinya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ibu, perempuan tak boleh mengeluh yang selalu berpeluh di saat ayam mulai berkokok hingga tengah malam demi melayani anak-anak dan suaminya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ayah, lelaki tegap nan berwibawa yang bersepatu hitam, bertas hitam, dan pulang dengan rasa lelah yang mencengkeram.
Di sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, Tami mendengar petuah para gurunya, laki-laki ataupun perempuan. Kata mereka, lelaki dan perempuan punya kedudukan, derajat, dan kesempatan yang sama. Bersainglah, karena kalian sama-sama makhluk Tuhan yang dikaruniai akal. Tidak ada yang membedakan kalian. Yang membedakan kalian hanyalah bahwa kalian disebut laki-laki dan perempuan oleh semua orang. Tami tergetar dengan petuah gurunya. Angannya melayang.
Namun, Tami paham pernyataan para gurunya itu tidak benar. Kenyataannya memang demikian. Di mata Tami, semua guru di sekolah seperti tidak pernah bisa jujur, bahkan terhadap diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin jujur bila untuk menduduki jabatan ketua kelas saja, mata dan otak, jiwa dan hati para guru tidak pernah dapat berpaling dari makhluk Tuhan yang berjakun itu. Tami harus menerima fakta; ketua kelasnya adalah laki-laki, Ketua OSIS-nya laki-laki, pemimpin upacara setiap hari Senin laki-laki, dan ketua himpunan mahasiswa di kampusnya juga laki-laki,
Di Masjid Baiturrahman yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Tami terlena menerima nasihat Ustad Marwan yang memberi khotbah pernikahannya. Kata Ustad Marwan.
“Ananda berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Apa yang dulu Allah haramkan untuk kalian lakukan, sekarang menjadi halal. Hiduplah dalam kasih dan sayang karena kasih dan sayang adalah pintu menuju keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Jangan terlalu banyak menuntut. Terlalu banyak menuntut akan membuat suami kehilangan jati diri. Terimalah secara ikhlas rezeki yang suami berikan, berapapun jumlahnya. Andai sudah ikhlas, jangan mau terseret ke dalam ragu, karena istri salehah sungguh sudah dalam genggaman.”
Usai ijab kabul, Tami tidak pernah menanyakan kenapa petuah Ustad Marwan lebih banyak ditujukan kepada dirinya sebagai seorang perempuan? Apa dirinya bermasalah? Apa keluarga sakinah lebih banyak ditentukan oleh peran dan kedudukan istri dibanding suami? Dan Tami kemudian ikhlas mencium tangan suaminya di hadapan para tamu undangan yang hadir. Itulah bukti awal kepatuhan dirinya sebagai seorang istri. Semua dilakukan demi menangguk derajat istri yang salehah. Sejak itu Tami sebenar-benarnya berusaha keras mengamalkan arti kata melayani.
Ia berlalu dengan penat yang menjerat. Sekejap jilbab putih yang dikenakan Tami sedikit tersingkap. Sebuah sepeda motor nyaris menabrak dirinya. Tami tersentak. Makian kasar keluar dari mulut beraroma alkohol sang pengendara.
“Mungkinkah Tuhan menguji hambanya dengan rasa marah?”
Ketika kuliah, Tami mengaji setiap rabu malam di rumah kontrakan seorang temannya. Sebelumnya, Tami menerima ajakan kakak kelasnya untuk digembleng selama sebulan penuh mengikuti holaqoh di sebuah pesantren saat liburan semester. Lambat laun, ia rindu menjadi seorang akhwat. Tami rindu menjadi perempuan bak Aisyah yang cerdas dan Tami rindu mengubah diri serupa Khadijah yang mandiri. Tami rindu seorang suami layaknya Muhammad sang nabi yang lembut dan bersahaja, tetapi tak pernah kehilangan gelora.
Tami mengabaikan segala pemikiran Farah, teman satu kosnya yang memberontak. Tami hanya melihat, pemberontakan Farah adalah kamuflase dari pengalaman kelam keluarganya. Farah memberontak karena keluarganya rusak. Bapaknya selingkuh, ibunya membalas selingkuh dengan sopir pribadinya hingga akhirnya mereka berdua berpisah. Farah tidak bisa menerima perbuatan bapaknya, tetapi ia dapat menerima perbuatan ibunya. Kata Farah, apa yang dilakukan ibunya tidak mungkin terjadi jika ayahnya tidak lebih dulu memulai.
“Istri harus dapat membalas segala hal yang telah dilakukan oleh suami karena relasi suami-istri bukan relasi yang subordinasi.“
Demikian pernyataan berapi-api Farah di ujung hidung Tami. Seperti biasa, Tami tersenyum dan terpana saat Farah berbicara. Tersenyum karena Tami sangat suka dengan gaya Farah berbicara yang lugas, tegas, dan bernas. Terpana karena jika sedang bicara, Tami tidak mampu menghilangkan bayangan Farah ketika berorasi di atas podium seperti dia lakukan sewaktu memimpin demo di kampus.
Karena itu, Tami tidak terlalu peduli dengan segala kritikan Farah terhadap dirinya yang memutuskan menerima lamaran teman sepengajiannya atas perantaraan guru ngaji-nya di saat tugas skripsi belum lagi rampung. Farah datang dengan rentetan kata-kata tajam nan menyentak.
“Bagaimana mungkin kamu menikah dengan seseorang yang kamu tidak mengenalnya?”
“Bagaimana mungkin kamu dapat menghidupi keluargamu sedangkan diri kamu dan suamimu belum lagi punya penghasilan?”
“Bagaimana mungkin kamu tega menyandarkan hidup keluargamu kepada orang tua dan mertuamu?”
Tami menjawab semua keheranan Farah dengan sebuah pernyataan yang membuat Farah meradang dan akhirnya sadar bahwa mereka berdua tidak lagi mungkin dapat menjadi sahabat karena besarnya perbedaan di antara mereka.
Kata Tami lembut, “Farah, saya tidak punya kehendak untuk menikahi seseorang. Saya hanya berusaha belajar menerima takdir Allah dengan penuh rasa cinta dan ikhlas.”
Selang beberapa waktu, Tami diam-diam mulai mengakui sebagian kebenaran pendapat Farah. Suaminya memang tidak pernah berlaku kasar kepadanya dan bahkan terkesan lembut. Namun, Tami baru sadar, suaminya ternyata terlalu lembut untuk mau bertarung melawan segala masalah dan beban hidup yang menusuk dan menikam, membelah dan merobek keluarga. Tami tiba-tiba kerap digandrungi sebuah pertanyaan yang menggoda, haruskah lembut bermakna mengalah?
Atas dasar keinginan meringankan beban ekonomi keluarga, setelah menyelesaikan kuliahnya, Tami mengurus kartu kuning di Kantor Depnakertrans, melegalisir ijazah S-1 beserta transkrip nilainya, dan melamar kerja pada sebuah instansi pemerintah. Tami bersyukur, usaha kerasnya tidak sia-sia karena ia diterima sebagai PNS. Kejadian ini membuat Tami berharap suaminya dapat tersenyum dan bahagia. Lebih dari itu, Tami berharap suaminya mampu meleburkan rasa lembutnya menjadi pesona yang bergairah dan hidup.
Memang, suaminya tersenyum dan memang suaminya bahagia. Namun, itu hanya dalam hitungan bulan atau malah hari. Tami kini yakin ia telah keliru. Suaminya sebenarnya tidak pernah tersenyum layaknya orang yang sedang tersenyum. Suaminya juga tidak pernah berbahagia seperti halnya orang yang sedang berbahagia. Setiap hari, Tami malah harus menghadapi rentetan pertanyaan suaminya yang seolah peluru muntah. Keras dan menyakitkan.
“Kenapa pulang malam?!” Padahal Tami sudah terlebih dahulu menjelaskan bahwa hari itu ia diminta lembur secara mendadak oleh atasannya.
“Apakah kamu tidak ada waktu lagi buat anak-anak?!” Padahal setiap tiga jam Tami tak lupa menyempatkan diri menelpon anak-anaknya dari kantor.
Kelembutan suaminya memang telah pergi. Tapi, kelembutan itu kini berubah menjadi wajah seorang pria yang kehilangan nalar. Garang. Menakutkan. Tami sudah tidak kuat lagi kendati ia sedang terus berusaha menguatkan dirinya.
“Ingatlah, singgasana Tuhan akan berguncang hebat manakala sepasang suami istri menyatakan diri berpisah untuk bercerai”. Tami tahu itu. Tami begitu takut. Kini, Tami hanya menunggu tangan Tuhan berlaku atas dirinya.
Ia tiba di pintu pagar rumahnya. Tami berusaha menahan air matanya agar tidak terus menerus jatuh. Namun, ia gagal. Dua bidadari kecil berlarian, berebut memeluk dirinya.
“Mama dari mana?” 
Cerpen: Sigit Widiantoro