Rabu, 21 Maret 2012

Be My Lady


Ia masih menatapnya dari kejauhan. Dan selalu, hanya dari kejauhan. Fokus matanya masih menghujam sempurna pada lelaki yang kini memainkan gitarnya di bawah pohon besar di sekitar sepuluh meter dari pohon tempatnya bersandar sekarang. Pengagum rahasia, bisa dikatakan. Namun bila disebut secret admirermaka itu akan jauh lebih mengena. Adrianna tahu, lelaki itu hanya semu. Hanya hidup sebagai bayangan pada mimpi-mimpinya, dan tak akan pernah menjadi nyata. Menjadi sesuatu yang dapat digapai secara nyata. Setidaknya, ia cukup sadar diri siapa dirinya dan siapa seorang Stephen. Mereka adalah sahabat yang paling dekat sepanjang sejarah. Namun karena itu pula, Adrianna tak enak bila nanti ada gunjingan dari berbagai pihak karena mereka memang sudah menjadi teman sejak menimba ilmu di sekolah dasar. Belum lagi kerenggangan dan kecanggungan yang tercipta—apalagi sejak perasaan tak terdefinisi ini mulai menunjukkan eksistensinya. Lamunannya masih menari-nari liar di pikirannya, sebelum kemudian pecah total karena sapaan seseorang.
“Hey, kenapa bengong, Na?”
“E-eh, enggak..”
Ngeliatin Stephen lagi?”
Gadis bernama Adrianna itu tak menjawab pertanyaan sahabatnya, Sandra. Hanya helaan nafas panjang mewakilkan berjuta kata yang sebenarnya dapat ia lontarkan. Arah pandangannya berubah—menjadi ke koordinat atas, lalu tersenyum sedih. “Aku seperti bermimpi menggapai awan,”
Ya elah. Mulai lagi, deh.

***
Ia masih menatapnya dari kejauhan. Dan selalu, hanya dari kejauhan. Fokus matanya masih menghujam sempurna pada perempuan yang kini duduk sendirian di bawah pohon besar di sekitar sepuluh meter dari pohon tempatnya bersandar  dan bergitar sekarang. Pengagum rahasia, bisa dikatakan. Namun bila disebut secret admirermaka itu akan jauh lebih mengena. Stephen tahu, perempuan itu hanya semu. Hanya hidup sebagai bayangan pada mimpi-mimpinya, dan tak akan pernah menjadi nyata. Menjadi sesuatu yang dapat digapai secara nyata. Setidaknya, ia cukup sadar diri siapa dirinya dan siapa seorang Adrianna. Mereka adalah sahabat yang paling dekat sepanjang sejarah. Namun karena itu pula, Stephen tak enak bila nanti ada gunjingan dari berbagai pihak karena mereka memang sudah menjadi teman sejak menimba ilmu di sekolah dasar. Belum lagi kerenggangan dan kecanggungan yang tercipta—apalagi sejak perasaan tak terdefinisi ini mulai menunjukkan eksistensinya.
“Aku tetap ingin menggapaimu, walau itu sama sulitnya dengan menggapai awan.” Ujarnya sembari menatap ke koordinat atas—langit, tepatnya. Ia menghela nafas panjang. Pemuda itu, Stephen.
***

Mereka merasakan hal yang sama. Seutuhnya.

***

Pemuda itu memandangi langit-langit kamarnya. Ia tak dapat memejamkan sepicing pun matanya—pikirannya masih terbebani oleh perempuan yang telah merebut hatinya itu. Satu hal yang ia tahu pasti, ia lelah. Ia lelah hanya berharap, ia lelah hanya bermimpi, dan ia—sebagai seorang lelaki, tak mungkin hanya diam dan menunggu. Setidaknya, ia harus melakukan sesuatu, untuk mengutarakan perasaannya pada Adrianna.
Ya, harus. Besok.
***

Langkah-langkah Stephen hari ini terdengar lebih pasti, walau masih tetap statis dan konstan tanpa pernah ada percepatan yang signifikan. Ia menuju pohon tempatnya bersandar beberapa waktu lalu—dan ia telah menitipkan pesan pada salah satu teman sekelas Adrianna untuk meminta perempuan itu menemuinya di sana. Ia telah duduk bersila, dengan gitar di pangkuannya. Siap atau tidak siap, ia harus siap. Dan derap langkah Adrianna mulai terdengar sayup dari kejauhan. Stephen merasakan semua darah mengalir ke pipinya, dan jantungnya memompa tiga kali lebih cepat dari biasanya. Ah.
“Stephen? Ada apa?”
Suara itu. Suara Adrianna. Suara lembut, unik, dan selalu dirindukan oleh dirinya. oleh seorang Stephen.
Stephen pun memetik senar-senar gitar akustiknya.
Lagu itu, Be My Lady.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar