Senin, 27 Februari 2012

Yang Menangis di Balik Pintu

Oleh ademin   
Rabu, 22 September 2010 06:12
Dilan merapatkan jaketnya. Angin malam mendesau dan berloncatan masuk ke dalam rumah, meniup bulu kuduknya dan mendinginkan tapak kakinya. Entah mengapa angin malam ini teramat asing. Ia mendongakkan kepalanya ke langit. Berserak bintang-bintang yang tak seberapa. Lalu mulai melangkah menuju tempat yang sama sekali tak ada dalam peta rencananya sambil iseng menghitung bintang yang terangnya dikalahkan lampu petromaks di ujung gang.

Ia berjalan menyusuri trotoar yang penuh lobang. “Aku ingin sekali memakan sesuatu yang teramat masam.” Dilan teringat permintaan istrinya ketika ia selesai sholat malam. Dalam pikirannya, tak ada makanan yang lebih masam ketimbang rujak. Ya, rujak akan memenuhi selera istrinya. Tapi malam begitu kental pekatnya. Dan angin seperti menusuk-nusuk dengan kukunya yang semu.
****
Rasni memandang tetesan demi tetesan cairan infus yang jatuh ke selang. Begitu pelan. Tetesan cairan itu jatuh bersamaan dengan butiran-butiran airmata dari danau matanya. Kemudian sesuatu —entah di mana— lamat-lamat terdengar suara, seperti tangis seorang bayi. Tapi tak ada. Tak ada.
“Apakah ranjang bayi pesanan kita sudah datang?” tanya Rasni pada Dilan suaminya. Suaranya begitu tipis terdengar di telinga Dilan.
Dilan tak mengucap sebuah jawab
“Susu untuk ibu hamil itu masih ada? Rasni kembali bertanya. Namun Dilan kembali tidak mengucap sebuah jawab. “Kau tahu? Aku sudah menyelesaikan rajutan kaus kaki yang lucu untuk anak kita. Kau mau lihat ?”
“Kau istirahat saja. Tubuhmu masih lemah.” Akhirnya Dilan melepas suara. Lalu ia beranjak keluar dari ruang rawat inap itu. Dan kemudian terdengar suara seperti tangis yang tertahan di balik pintu.
Seketika darah dalam kepala Dilan menggelegak. Ia ingin marah dan berteriak sekuat tenaganya. Tapi tak ada siapa pun di rumah sakit itu yang patut ia marahi. Pula kepada Tuhan. Ia tak punya sedikit pun keberanian untuk protes kepada Tuhan perihal lebatnya bencana yang menimpa dirinya dan istrinya, Rasni. Dilan pun urung melepas teriakannya. Lalu kemudian kembali menghampiri Rasni yang terbaring lemah dengan sebuah selang berjarum di tangan kirinya.
Ia membelai lembut kening Rasni. Menatap matanya dalam-dalam dan memaksakan sebuah senyum di wajahnya.
“Kau tahu, sayang. Air matamu yang jatuh perlahan itu terlalu mahal harganya. Kita tak akan sanggup membelinya kembali ketika air itu habis. Cairan infus di tabung itu belum seberapa harganya ketimbang air mata itu” Bisik Dilan kepada istrinya. Namun Rasni tetap menangis.
Di luar orang-orang berlalu-lalang dari sudut dan simpang yang berbeda-beda. Hujan pun turun dengan kejam. Rasni dan Dilan merasa seperti sepasang manusia yang terasing dari peradaban. Tak akan ada yang menjenguk parasaan mereka.
“Maukah kau mendengar lagi cerita tentang kanak-kanak yang berlarian di surga?”
“Aku sudah jemu mendengarnya. Kau selalu menceritakan itu padaku setiap malam.” Jawab Rasni.
“Tapi kali ini berbeda, sayang. Di surga itu kini ada seorang kanak yang baru saja datang. Kau tahu? Mereka sangat bahagia dengan kedatangannya. Malah ada yang teramat iri melihat sayap di punggung anak yang baru datang itu.”
“Apakah itu anak kita?” tanya Rasni.
“Ya, itu anak kita. Ia sangat berbahagia di sana. Ia juga sangat berbahagia telah menjadi bagian dari cerita kita ini.” balas Dilan.
“Tapi aku ingin ia ada disini. Mengenakan kaus kaki lucu rajutanku, atau bermain dengan sepeda mungil itu. Seharusnya ia bersama kita kan?”
“Ia adalah anak yang terpilih. Ia telah ditakdirkan untuk mengenakan kaus kaki lucu itu di surga. Di sana ia juga bisa bermain sepeda sepuasnya.” Balas Dilan sambil membenarkan letak bantal di pundak istrinya.
“Tapi aku sangat ingin ia ada di sini. Bersama kita.” timpal Rasni dengan binar mata yang mulai berkaca-kaca.
“Kau tahu, sayang. Sebagai orang tua kita sudah berhasil mengantarkannya ke tempat paling menawan. Ia tidak perlu bergelut dengan sandiwara konyol di dunia ini. Kita mestinya berbahagia bukan?” Dilan mencoba meyakinkan istrinya.
“Lalu kepada siapa harus kita berikan nama-nama yang kita reka dulu? Bukankah dialah yang sepatutnya menyandang nama itu.” rajuk Rasni dengan suara serak. Ia mencoba menahan dirinya untuk tidak menangis. Dan itu usaha yang gagal.
“Suatu saat Tuhan akan mengirimkan lelaki tampan atau perempuan jelita untuk kita berikan nama-nama itu. Kita hanya harus mengabadikan kesabaran. Kemasilah kesedihan di dalam dada dan matamu itu. Kita tak perlu bertangisan.” Ucap Dilan sembari menyeka air yang jatuh dari mata istrinya yang tiris. “Besok pagi kita akan pulang. Untuk sementara kita akan tinggal di rumah Ibumu. Aku akan berusaha merebut kembali rumah kita yang dieksekusi itu.” bujuk Dilan pada istrinya agar ia bisa mengusir kabut di wajahnya.
Paginya mereka meninggalkan rumah sakit itu. Setelah rumah mereka dieksekusi, mereka memilih menetap di rumah orang tua Rasni sambil berharap mereka bisa mendapatkan rumah mereka kembali. Masih kuat ingatan di kepala Dilan ketika istrinya jatuh dari tangga setelah mendengar kabar dari pengadilan bahwa mereka harus melepaskan hak mereka terhadap rumah mereka sendiri. Pengadilan memutuskan bahwa sesorang yang sekalipun tak pernah mereka temui memiliki dokumen sah terhadap tanah yang saat ini ditempati Dilan dan Rasni. Ketika itulah mereka harus menerima kenyataan bahwa sebuah kamar mungil di rumah mereka yang antik mungkin tak akan pernah digenangi pipis oleh seorang nyawa telah gugur dari kandungan Rasni—entah karena shock atau jatuh.
Ketika makan malam, Rasni meminta Dilan untuk membuatkannya segelas susu untuk ibu hamil dan mengambilkannya suplemen yang biasa ia minum.
“Sudahlah, Ni. Susu dan suplemen itu tak perlu lagi kau minum. Kuatkanlah hatimu. Suatu saat kau pasti akan meminum susu itu lagi.”
“Apa maksudmu? Aku harus rutin meminum susu dan suplemen itu. kalau tidak kandunganku tidak akan sehat.”
Dilan berhenti menaruh sendoknya dengan pelan ke bagian kanan piring. Ia ingin mengatakan bahwa setelah keguguran, susu dan suplemen itu tak perlu diminum lagi. Namun ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk tetap membuatkan susu itu untuk Rasni.
Tatapan mata Rasni seperti sebuah ruang kecil samar dan kosong setelah meminum susu buatan suaminya. Terkadang ia salah menyuapkan makanan ke mulutnya sehingga makanan itu berlepotan di dagu atau di pipinya. Dilan mencoba untuk memaklumi sikap istrinya yang belum terbiasa dengan musibah itu. termasuk dengan permintaan-permintaan konyol yang sering terlontar dari mulut istrinya tersebut, seperti permintaan untuk dibelikan buku cerita anak-anak, kaset tape untuk ibu yang sedang mengandung, majalah balita atau buku panduan senam untuk kesehatan janin.
“Seandainya dulu kita tidak makan di piring sumbing itu, pasti semua tidak akan begini.” Ucap Rasni masih dengan tatapan mata kosong. Dilan hanya bisa terpaku diam mendengar istrinya bicara. “Aku rasa ini kutukan dari ular dan tikus yang kau bunuh ketika azan magrib itu. atau karena jimat kampung yang katamu menjaga keselamatan itu” lanjut Rasni.
“Ini tak ada hubungannya dengan mitos-mitos itu.” akhirnya Dilan mengomentari perkataan istrinya.
“Kalau bukan karena itu, tentu kita sudah mendengar suara bayi kan di rumah ini!” balas Rasni.
“Inilah yang disebut takdir, Rasni. Semua sudah ada di catatan rencana Tuhan.” Dilan kembali menimpali.
“Tapi jika saja dulu kau mau mengganti piring yang ujungnya sumbing itu, rutin mengantarkanku setiap minggu ke dokter atau tidak membunuh ular dan tikus-tikus itu, tentu hal ini tidak akan tercatat di rencana tuhan itu bukan?”
“Piring-piring sumbing, jimat, sambal pedas, buah pinang, ular dan tikus itu juga sudah termasuk rencana tuhan, Rasni. Aku tahu kau kecewa. Tapi kini aku ingin kau menjadi perempuan yang kuat, Rasni.” Balas Dilan dengan suara yang menggelegar. Kemudian terdengar suara hempasan pintu kamar yang mengagetkan cicak-cicak yang barangkali ikut mendengar pembicaraan mereka tadi. Lalu dari luar terdengar sesuara. Seperti tangisan. Entah siapa yang menangis di balik pintu, namun yang pasti, semenjak itu tangisan selalu terdengar ketika malam. Tangisan itu selalu diawali oleh bunyi hempasan pintu lalu dibarengi oleh bunyi piring atau gelas pecah.
 ****
Azan magrib di masjid belakang rumah Dilan belum selesai ketika dengan tiba-tiba Rasni merasa sesuatu akan meledak dari perutnya. Sesuatu yang tak bisa di tahan dan harus dimuntahkan. Ia bergegas berlari sekuat tenaga menuju kamar kecil meski ia merasa seperti dihoyong gelombang.
Namun, badai dari dalam perutnya tak tertahankan dan terlanjur dimuntahkan sebelum ia sampai di kamar kecil. Kemudian ia terjatuh dan tak mengingat apa-apa lagi sampai ia menemukan dirinya terbaring di kamarnya, dan disana ada suaminya yang sedang mengulum senyum bersama Bapak Fendi yang merupakan seorang dokter spesialis kandungan yang sudah satu tahun lebih tidak dijumpainya.
“Kau masih ingat bapak Fendi ini kan, sayang? Kau tahu untuk apa beliau setelah sekian lama kembali menengok kita?” sambut Dilan ketika istrinya telah sadarkan diri. Rasni menggeleng pertanda ia tak mengerti.
“Akan ada sebuah nyawa mungil di dalam perutmu ini.” sambung Dilan sekenanya hingga membuat Rasni tak sanggup berkata suatu apapun kecuali membahasakan keceriaannya dengan mata yang berkaca-kaca.
Lalu dengan tiba-tiba, ketika jam dinding berdentang di tengah malam, Rasni meminta Dilan untuk mencarikannya sebuah makanan yang sangat masam. Sebuah makanan yang sanggup melawan pahit di ludahnya. Walaupun angin malam begitu menusuk tubuhnya, Dilan menyanggupi untuk mencari makanan yang masam untuk istrinya.
Dengan menyusuri trotoar yang lengang, Dilan berharap bakal menemukan orang yang menjual rujak. Ia terus mencari meski ia tahu selarut ini tak akan ada orang yang berjualan rujak kecuali deretan gerobak sate, nasi goreng, kacang goreng dan sekoteng. Namun, sesuatu dalam dadanya menguatkan kakinya untuk mencari orang yang berjualan rujak yang masam itu, karena betapa ia telah jemu menangis dan mendengar tangisan di balik pintu.
Dan betapa ia merindukan sebuah tangisan lucu yang memecah malam di balik pintu itu. Maka untuk itu ia merelakan dirinya untuk mengganti piring-piring yang sumbing di rumahnya dengan piring baru, dan berjanji untuk tidak membunuh ular, lipan, tikus atau serangga dan nyamuk sekalipun karena betapa ia merindukan suara tangisan yang lugu dan lucu di balik pintu yang kerap menggoda mimpi-mimpinya itu.
Ruang Sempit, 2008
Cerpen: Arif Rizki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar