Senin, 27 Februari 2012

Perempuan yang Menunggu Takdir

Oleh ademin   
Rabu, 22 September 2010 06:05
Ia berjalan dengan kedukaan yang sangat. Perempuan muda lembut itu. Tami, Sri Utami nama lengkapnya. Matanya nanar, memerah basah. Ucapan lancip sang ibu terngiang menggelayut batin.
“Nduk, laki-laki itu pemimpin dalam keluarga. Patuhi suamimu!”
Tami tidak menolak dan memang tidak pernah berusaha menolak. Dosa! Kata ibunya, kitab suci sudah mengatur kedudukan laki-laki dan perempuan. Bukan demi laki-laki, tapi semata-mata demi kita, kaum perempuan. Kitab suci tidak mungkin keliru, sebab yang keliru itu manusia. Dalam tubuh manusia ada otak dan nafsu. Otak dan nafsu itulah yang membuat manusia keliru. Jangan gunakan keduanya secara penuh. Liar nantinya. Saringlah dengan hati.
Begitulah hukum Tuhan mengatur dirinya. Tami percaya. Ia melihat ibunya sejak kecil begitu pasrah, menghamba kepada ayah. Ayah adalah pemimpin. Karena pemimpin, ayah berhak mengatur jalannya rumah tangga. Ayah adalah kepala. Karena kepala, ayah menentukan setiap keputusan yang diambil. Ayah tak ubahnya penguasa. Kuasa ayah tidak tergantikan, karena memang tidak ada yang bisa menggantikan. Tidak juga kakek, orang tua ayah, lelaki tua yang biasa memegang kepala Tami setiap kali bertemu di kesempatan liburan sekolah dan bertanya dengan welas.
“Apa cita-citamu kelak, Tami?”
Tami tidak punya jawaban karena sejak kecil ia terlatih untuk tidak memiliki pertanyaan. Ia malah tertawa geli melihat gigi kakek yang ompong di sana sini. Kakek penasaran.
“Tami, kalau besar ingin jadi apa?”
Tami tidak ingin melihat kakek tersinggung, apalagi marah. Tami tidak mau kehilangan kasih kakek yang kerap menjadi benteng terakhir di saat ayah dan ibunya marah. Tami menjawab ringan dengan mulut tertahan.
“Jadi orang baik, kek.”
Kakek memaklumi jawaban sederhana cucu perempuannya itu. Kakek diam sebentar untuk kemudian memberikan pesan yang tertancap di benak bawah sadar Tami hingga ia dewasa, menikah, dan punya anak.
“Kalau mau jadi anak baik, hormati, sayangi, dan patuhi ayah-ibumu, juga kakakmu.”
Anak baik? Hormat, sayang, patuh? Kata-kata itu adalah mantera sakti. Ketiganya wajib dipegang Tami kuat-kuat bila dirinya ingin menjadi anak baik. Sekali kata itu lepas, segalanya akan berantakan. Hormat, sayang, dan patuh untuk Mas Ninok, kakak laki-laki satu-satunya yang sejak kecil sudah tergila-gila dengan ilmu beladiri sehingga selalu menjaga dan bahkan mengatur dirinya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ibu, perempuan tak boleh mengeluh yang selalu berpeluh di saat ayam mulai berkokok hingga tengah malam demi melayani anak-anak dan suaminya. Hormat, sayang, dan patuh untuk ayah, lelaki tegap nan berwibawa yang bersepatu hitam, bertas hitam, dan pulang dengan rasa lelah yang mencengkeram.
Di sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, Tami mendengar petuah para gurunya, laki-laki ataupun perempuan. Kata mereka, lelaki dan perempuan punya kedudukan, derajat, dan kesempatan yang sama. Bersainglah, karena kalian sama-sama makhluk Tuhan yang dikaruniai akal. Tidak ada yang membedakan kalian. Yang membedakan kalian hanyalah bahwa kalian disebut laki-laki dan perempuan oleh semua orang. Tami tergetar dengan petuah gurunya. Angannya melayang.
Namun, Tami paham pernyataan para gurunya itu tidak benar. Kenyataannya memang demikian. Di mata Tami, semua guru di sekolah seperti tidak pernah bisa jujur, bahkan terhadap diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin jujur bila untuk menduduki jabatan ketua kelas saja, mata dan otak, jiwa dan hati para guru tidak pernah dapat berpaling dari makhluk Tuhan yang berjakun itu. Tami harus menerima fakta; ketua kelasnya adalah laki-laki, Ketua OSIS-nya laki-laki, pemimpin upacara setiap hari Senin laki-laki, dan ketua himpunan mahasiswa di kampusnya juga laki-laki,
Di Masjid Baiturrahman yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Tami terlena menerima nasihat Ustad Marwan yang memberi khotbah pernikahannya. Kata Ustad Marwan.
“Ananda berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Apa yang dulu Allah haramkan untuk kalian lakukan, sekarang menjadi halal. Hiduplah dalam kasih dan sayang karena kasih dan sayang adalah pintu menuju keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Jangan terlalu banyak menuntut. Terlalu banyak menuntut akan membuat suami kehilangan jati diri. Terimalah secara ikhlas rezeki yang suami berikan, berapapun jumlahnya. Andai sudah ikhlas, jangan mau terseret ke dalam ragu, karena istri salehah sungguh sudah dalam genggaman.”
Usai ijab kabul, Tami tidak pernah menanyakan kenapa petuah Ustad Marwan lebih banyak ditujukan kepada dirinya sebagai seorang perempuan? Apa dirinya bermasalah? Apa keluarga sakinah lebih banyak ditentukan oleh peran dan kedudukan istri dibanding suami? Dan Tami kemudian ikhlas mencium tangan suaminya di hadapan para tamu undangan yang hadir. Itulah bukti awal kepatuhan dirinya sebagai seorang istri. Semua dilakukan demi menangguk derajat istri yang salehah. Sejak itu Tami sebenar-benarnya berusaha keras mengamalkan arti kata melayani.
Ia berlalu dengan penat yang menjerat. Sekejap jilbab putih yang dikenakan Tami sedikit tersingkap. Sebuah sepeda motor nyaris menabrak dirinya. Tami tersentak. Makian kasar keluar dari mulut beraroma alkohol sang pengendara.
“Mungkinkah Tuhan menguji hambanya dengan rasa marah?”
Ketika kuliah, Tami mengaji setiap rabu malam di rumah kontrakan seorang temannya. Sebelumnya, Tami menerima ajakan kakak kelasnya untuk digembleng selama sebulan penuh mengikuti holaqoh di sebuah pesantren saat liburan semester. Lambat laun, ia rindu menjadi seorang akhwat. Tami rindu menjadi perempuan bak Aisyah yang cerdas dan Tami rindu mengubah diri serupa Khadijah yang mandiri. Tami rindu seorang suami layaknya Muhammad sang nabi yang lembut dan bersahaja, tetapi tak pernah kehilangan gelora.
Tami mengabaikan segala pemikiran Farah, teman satu kosnya yang memberontak. Tami hanya melihat, pemberontakan Farah adalah kamuflase dari pengalaman kelam keluarganya. Farah memberontak karena keluarganya rusak. Bapaknya selingkuh, ibunya membalas selingkuh dengan sopir pribadinya hingga akhirnya mereka berdua berpisah. Farah tidak bisa menerima perbuatan bapaknya, tetapi ia dapat menerima perbuatan ibunya. Kata Farah, apa yang dilakukan ibunya tidak mungkin terjadi jika ayahnya tidak lebih dulu memulai.
“Istri harus dapat membalas segala hal yang telah dilakukan oleh suami karena relasi suami-istri bukan relasi yang subordinasi.“
Demikian pernyataan berapi-api Farah di ujung hidung Tami. Seperti biasa, Tami tersenyum dan terpana saat Farah berbicara. Tersenyum karena Tami sangat suka dengan gaya Farah berbicara yang lugas, tegas, dan bernas. Terpana karena jika sedang bicara, Tami tidak mampu menghilangkan bayangan Farah ketika berorasi di atas podium seperti dia lakukan sewaktu memimpin demo di kampus.
Karena itu, Tami tidak terlalu peduli dengan segala kritikan Farah terhadap dirinya yang memutuskan menerima lamaran teman sepengajiannya atas perantaraan guru ngaji-nya di saat tugas skripsi belum lagi rampung. Farah datang dengan rentetan kata-kata tajam nan menyentak.
“Bagaimana mungkin kamu menikah dengan seseorang yang kamu tidak mengenalnya?”
“Bagaimana mungkin kamu dapat menghidupi keluargamu sedangkan diri kamu dan suamimu belum lagi punya penghasilan?”
“Bagaimana mungkin kamu tega menyandarkan hidup keluargamu kepada orang tua dan mertuamu?”
Tami menjawab semua keheranan Farah dengan sebuah pernyataan yang membuat Farah meradang dan akhirnya sadar bahwa mereka berdua tidak lagi mungkin dapat menjadi sahabat karena besarnya perbedaan di antara mereka.
Kata Tami lembut, “Farah, saya tidak punya kehendak untuk menikahi seseorang. Saya hanya berusaha belajar menerima takdir Allah dengan penuh rasa cinta dan ikhlas.”
Selang beberapa waktu, Tami diam-diam mulai mengakui sebagian kebenaran pendapat Farah. Suaminya memang tidak pernah berlaku kasar kepadanya dan bahkan terkesan lembut. Namun, Tami baru sadar, suaminya ternyata terlalu lembut untuk mau bertarung melawan segala masalah dan beban hidup yang menusuk dan menikam, membelah dan merobek keluarga. Tami tiba-tiba kerap digandrungi sebuah pertanyaan yang menggoda, haruskah lembut bermakna mengalah?
Atas dasar keinginan meringankan beban ekonomi keluarga, setelah menyelesaikan kuliahnya, Tami mengurus kartu kuning di Kantor Depnakertrans, melegalisir ijazah S-1 beserta transkrip nilainya, dan melamar kerja pada sebuah instansi pemerintah. Tami bersyukur, usaha kerasnya tidak sia-sia karena ia diterima sebagai PNS. Kejadian ini membuat Tami berharap suaminya dapat tersenyum dan bahagia. Lebih dari itu, Tami berharap suaminya mampu meleburkan rasa lembutnya menjadi pesona yang bergairah dan hidup.
Memang, suaminya tersenyum dan memang suaminya bahagia. Namun, itu hanya dalam hitungan bulan atau malah hari. Tami kini yakin ia telah keliru. Suaminya sebenarnya tidak pernah tersenyum layaknya orang yang sedang tersenyum. Suaminya juga tidak pernah berbahagia seperti halnya orang yang sedang berbahagia. Setiap hari, Tami malah harus menghadapi rentetan pertanyaan suaminya yang seolah peluru muntah. Keras dan menyakitkan.
“Kenapa pulang malam?!” Padahal Tami sudah terlebih dahulu menjelaskan bahwa hari itu ia diminta lembur secara mendadak oleh atasannya.
“Apakah kamu tidak ada waktu lagi buat anak-anak?!” Padahal setiap tiga jam Tami tak lupa menyempatkan diri menelpon anak-anaknya dari kantor.
Kelembutan suaminya memang telah pergi. Tapi, kelembutan itu kini berubah menjadi wajah seorang pria yang kehilangan nalar. Garang. Menakutkan. Tami sudah tidak kuat lagi kendati ia sedang terus berusaha menguatkan dirinya.
“Ingatlah, singgasana Tuhan akan berguncang hebat manakala sepasang suami istri menyatakan diri berpisah untuk bercerai”. Tami tahu itu. Tami begitu takut. Kini, Tami hanya menunggu tangan Tuhan berlaku atas dirinya.
Ia tiba di pintu pagar rumahnya. Tami berusaha menahan air matanya agar tidak terus menerus jatuh. Namun, ia gagal. Dua bidadari kecil berlarian, berebut memeluk dirinya.
“Mama dari mana?” 
Cerpen: Sigit Widiantoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar