Senin, 27 Februari 2012

TAK LEKANG KARENA WAKTU

Oleh DIANINGTYAS KH   Selasa, 23 Februari 2010 04:23
Dia ada di depan sana sekarang. Seperti pada tanggal dan jam yang sama dua puluh tahun yang lalu. Tapi, sekarang keadaan sudah lain. Saat ini dia bicara di mimbar. Bicaranya tidak lagi berapi-api. Tapi, masih saja mengandung wibawa. Retorikanya semakin menarik, membuat semua yang hadir memperhatikannya.
Beda dengan dulu, saat ia memberi sambutan pada pesta perpisahan sekolah. Nadanya tinggi. Semangatnya menyala-nyala. "Mari kita songsong masa depan yang cerah! Maju terus pantang mundur!" Dan tepuk tangan pun menggema.  Setelah itu ia datang padaku. Duduk di sampingku seraya mengatakan beratnya berpisah denganku. Meyakinkan bahwa ia tak akan melupakanku walaupun ia melanjutkan di negeri Paman Sam. Membuatku percaya bahwa ia akan setia selamanya. Ia mengajakku keluar dari pesta yang pikuk itu. Katanya ia ingin menyendiri saja denganku untuk membuat kesan yang lebih mendalam. Aku tak menolak permintannya. Karena aku memang mencintainya. Bahkan teramat mencintanya. Lalu peristiwa terlarang itu terjadi. Hanya sekali saja.
"Kamu melamun sejak tadi," terdengar suara tepat di telingaku.
Aku menoleh dan membalasnya dengan seulas senyuman pada si empunya suara. Dia! Ya, dia! Dua puluh tahun lalu pun ia duduk di sampingku setelah selesai memberikan sambutan. Seperti saat ini.
"Pidatomu bagus," kataku tulus, untuk menutupi kejut yang tiba-tiba datang di dadaku.
"Aku tak yakin apakah kamu benar mendengarkan pidatoku tadi."
Pandangannya masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Tajam tapi menggoda. Usia bahkan mungkin tak mampu mengubah cara mata itu bersinar.
"Kamu meragukanku?" tanyaku. Mungkin kalimat retorika seperti itu juga pernah kuucapkan padanya ketika ia menanyakan apakah aku mencintainya.
"Pesta yang meriah," katanya.
"Hajatmu sukses," kataku mersesponnya. Dia memang ketua reuni. Dia diam.
"Aku kangen kamu," katanya seolah tak mendengar pujianku tadi padanya.
"Berapa anakmu sekarang?" tanyaku.
Beginilah, acara-acara reuni semacam ini pasti akan dimanfaatkan untuk pamer keluarga.
"Dua," sahutnya malas.
Aku tersenyum mafhum. Mungkin ia tidak ingin aku bertanya lebih jauh mengenai keluarganya. Tapi, aku tak ingin ia bermalas-malasan menjawab pertanyaanku.
"Pasti tampan dan cantik."
"Semuanya tampan. Padahal aku ingin seorang putri. Istriku tak mampu memberikannya.”
Jadi itu masalahnya. Aku tak bertanya lebih lanjut. Mungkin istrinya sakit. Diam-diam aku merasa bersalah telah merusak suasana dengan menanyakan  keluarganya. Kami terdiam beberapa saat.
"Berapa anakmu," tanyanya tiba-tiba.
Aku sedikit terkejut. Tetap dengan ketenangan yang nyaris sempurna aku menjawabnya.
"Berapa anakku? Satu. Perempuan."
"Suamimu...," ia tak melanjutkan pertanyaannya.
"Pergi. Menikah dengan perempuan lain."
Ia menatapku dengan pandangan tak mengerti. Aku kembali tersenyum padanya. Kali ini dengan sedikit mengangkat bahu.
"Sudah lama. Aku mampu, kok, hidup tanpa dia. Aku sudah cukup bahagia hidup bersama Intan."
"Kamu..."
Aku mengisyaratkan padanya dengan jari agar ia tak melanjutkan ucapannya. Jeda sesaat.
"Kupikir kamu tak akan datang," katanya.
"Kenapa tidak?"
"Aku kehilangan kontak denganmu selama ini."
"Kamu juga menghilang tanpa kabar."
"Aku sudah mencoba menghubungi kamu. Tapi, tak pernah ada jawaban. Kamu hilang seolah ditelan bumi."
"Aku tinggal bersama Eyang setahun setelah UMPN-ku gagal."
"Kamu semakin cantik."
Pokok pembicaraan yang meloncat-loncat, pikirku.
"Terima kasih. Tapi, uban di kepala dan keriput di wajah tak mampu membohongi orang bahwa aku jauh lebih jelek dibanding dua puluh tahun yang lalu."
"Kamu semakin dewasa dan matang."
Pujiannya semakin lama semakin menjadi. Dan hal ini setidaknya membuat jantung tuaku berdenyut dua kali lebih kencang.
"Jangan coba-coba merayuku hanya karena aku tak bersuami," bentakku lirih dengan nada bergurau.
Dia diam. Kemudian aku menolehnya. Ternyata, oh Tuhan, ia tengah menatapku dengan pandangan mata yang begitu memuja. Bahkan lebih memuja dibandingkan dua puluh tahun lalu.
Untung saja aku terselamatkan oleh suara MC yang memanggilnya untuk maju ke depan.
"Aku segera kembali," katanya.
"Aku segera pulang," sahutku tak mau kalah. "Anakku menungguku."
****
Ting tong.
Pagi-pagi begini sudah ada tamu. Mungkin pertanda akan ada tamu secara beruntun hari ini. Padahal ini hari minggu. Dan semalam aku kecapaian. Aku ingin istirahat.
Aku segera membuka pintu. Dia ada di muka pintu. Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Seingatku aku tak pernah memberinya kartu nama. Bahkan undangan reuni pun kudapatkan informasinya dari iklan teve.
"Aku mengikutimu tadi malam.”
Mau tak mau aku mempersilakannya duduk. Secangkir kopi mungkin dapat kusuguhkan padanya pagi-pagi begini. Baru juga pukul tujuh.
Belum sempat aku beranjak ke dalam, Intan keluar. Kulihat ia tersenyum menyapa kami berdua.
"Ada tamu rupanya," sapanya.
"Teman Mama. Kasih salam dong sama Om Alex."
Intan mengulurkan tangannya pada Alex sambil mengucapkan salam. Alex terlihat sedikit ragu ketika menyambut uluran tangan itu.
"Intan pergi dulu ya, Ma. Nini pasti sudah menunggu."
"Hati-hati di jalan."
Intan pergi setelah memberikan ucapan selamat tinggal pada Alex dan ciuman tangan padaku. Pandangan Alex masih saja lekat padanya, sampai ia menghilang di balik pintu gerbang.
"Sudah besar rupanya anakmu."
"Sembilas belas tahun lebih tiga bulan."
Aku sungguh tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tapi, ia memandangku dengan wajah yang berubah-ubah dan pandangan mata yang aneh. Aku merasakan bahwa ia sedang menuduhku lewat sorot matanya.
"Jadi kamu…," ia tak melanjutkan uacpannya. Aku diam menunggu kata-kata selanjutnya.
"Pantas saja kami menghilang dariku. Rupanya kamu menikah dengan laki-laki secepat ini. Karma telah menimpamu ketika suamimu pergi dengan wanita lain. Karma karena kamu telah meninggalkanku begitu saja!"
Ia berucap begitu sambil menudingku. Ya, menudingku. Seolah akulah segala penanggung dan penyebab persoalanku dengannya.
"Jangan berkata jika kamu tak tahu apa yang kamu katakan. Kamu sama sekali tak tahu apa-apa."
"Aku sudah tahu segalanya sekarang."
Ucapannya masih saja keras.
"Karma telah menimpaku sejak pertemuan kita yang terakhir malam itu..." Aku sengaja tak melanjutkan ucapanku. Biar dia mencari sendiri makna kata-kata itu. Jeda sesaat. Kubiarkan terlewati tanpa kata. Aku tak mau memandangnya. Karena aku tahu ia tengah memandangku dengan tatapan tak mengerti.
"Jadi dia..."
Aku diam. Tak merespon ucapannya. Tak menanggapi tatapannya. Toh, tak ada gunanya menjawab semua yang dipertanyakannya. Ia toh sudah tahu bahwa Intan adalah putriku dan putrinya. Meski ia tahu, semua tak mungkin bersatu. Ia sudah punya istri dan anak-anak. Aku tak mungkin masuk begitu saja dalam kehidupan mereka walaupun aku punya Intan.
Aku dan Intan hanya sisa dari puing-puing masa lalu laki-laki yang kini tengah duduk di depanku dan sedang memandangku penuh harap. Tapi puing dari masa silam tak mungkin dipunguti lagi.
"Katakan. Dia anakku, bukan?"
"Ya. Dia memang anakmu. Tapi jika kamu menanyakan hal lain, aku jawab tidak."
Aku melihat dia menarik nafas lega. Matanya berbinar. Keinginannya untuk punya anak perempuan terpenuhi. Sesaat dia terdiam. Lalu dia mengambil KTP dari dompetnya. Ditunjukkannya KTP itu padaku.
"Lihat ini. Aku belum menikah. Masih bujang," katanya.
Aku semakin tak mengerti. Apa-apaan ini.
"Semalam aku membohongimu. Aku mencoba mengujimu apakah kamu jujur untuk membicarakan tentang keluargamu. Kupikir kamu akan malu menceritakan keadaan keluargamu jika kamu tahu bahwa aku belum berkeluarga. Ternyata kamu jujur. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menyadari getaran-getaran dalam bicaramu. Aku mencintaimu. Sehingga aku bertekad terus membujang sebelum dapat menemukanmu. Aku merasa bersalah."
Kalimat-kalimat panjangnya sudah selesai. Tapi otakku masih saja sulit mencerna makna kalimat itu. Kurasakan aku memang bebal. Dan aku semakin terkejut saat tiba-tiba Alex menarikku ke dalam pelukannya dan memberiku ciuman.
"Ingat, Lex. Aku tak ingin peristiwa bodoh itu terulang lagi," kataku sambil menjauhkan diri darinya. * * *

2 komentar:

  1. hehehe,, hampir sama dengan lagunya kerispatih, tak lekang oleh waktu..

    salam kenal aja, ditunggu kunjungan baliknya http://jeanotnahasan.blogspot.com

    BalasHapus
  2. haha iya terinspirasi dari situ mungkin, follow blog ini yaa

    BalasHapus