Senin, 27 Februari 2012

BANGKU TERMINAL

Oleh RAHMAN   
Selasa, 23 Februari 2010 04:21
Malam kemarin.
Panggil saya Simon. Di terminal ini saya adalah kucing liar, yang mencoba untuk menancapkan kuku-kuku rapuhnya. Kususuri lorong-lorong gelap, berlarian di antara gang-gang becek. Berebut makan dan tempat tidur dengan sesama. Buat kami, tak penting apa yang akan terjadi esok. Bahkan kiamat pun kami tak peduli. Terkadang saya berharap, begitu membuka kelopak mata keesokan harinya, kiamat sudah datang.
Orang lalu-lalang, berbicara tentang banyak hal. Tanpa sedikit pun memberikan ruang buat saya untuk bertanya, tentang apa yang mereka perbincangkan. Sepertinya saya ini tak ada, sepertinya kami ini para gembel jalanan. Hanya hiasan sudut-sudut kusam kota, pelengkap dari sebuah kehidupan di megapolitan yang maha-ganas ini. Satu jiwa yang tertidur, dari sejuta yang terlelap. Mendengkur riuh, meski cuma beralaskan kardus bekas, berbantalkan sebelah tangan. Gembel tua itu tertidur, di tempat yang kemarin. Ia menggeliat sejenak, sebelum kembali meringkuk dan mendengkur riuh.
Saya tak kenal dia, ia juga tak kenal saya. Begitu pula halnya kalian, tak kenal saya ataupun dia. Kita tak saling kenal, bukankah sesungguhnya kita hidup untuk saling mengenal? Dalam dekapan embun yang terkontaminasi karbon dioksida knalpot kendaraan siang tadi, kami para gembel jalanan menikmati malam.
Mungkin saja gembel tua itu bermimpi, seperti halnya benak saya yang sedang terbang menari di dalam ruang khayal. Mengendarai BMW dengan diiringi musik top fourty. Pasti saya akan mencibir, seraya mendenguskan napas muak. Melihat para gembel jalanan yang sedang lalu lalang menyanyikan nada pilu, berharap ada sekeping mata uang. Buat beli sebutir nasi.
Tiga tahun lalu saya masih duduk di bangku SD kelas lima. Dan malam ini saya duduk di bangku terminal Lebak Bulus. Memandangi pekat, ditemani dengkuran gembel tua dari sudut sana.
Harusnya sekarang ini saya sudah berseragam putih biru. Dan tengah sibuk dengan pelajaran karena sebentar lagi akan EBTA, seperti yang dibicarakan anak-anak sekolah sore tadi. Bagaimana rasanya duduk di bangku SMP sebagai murid kelas dua? "Ah..." desah saya. Saya tarik oksigen dalam-dalam mengisi rongga dada, menahannya sejenak. Baru kemudian menghembuskannya perlahan.
Gembel itu memincingkan matanya dengan malas, ketika saya merebahkan badan di atas bangku. Saya bertanya pada diri sendiri apa yang mengisi benaknya? Tidakkah dia menginginkan sebuah kehidupan, sebuah keluarga? Sekali lagi saya cuma bisa mendesah. Ah, bukan urusan saya.
Saya pun memejamkan mata, teringat kembali akan Abah dan Emak yang telah meninggal. Rindu. Lebih tepatnya saya butuh mereka. Seandainya mereka masih ada, tak harus saya hidup seperti ini.
Abah cumalah seorang buruh angkut di Tanjung Priok, tapi itu sudah cukup buat membiayai hidup kami yang tinggal di rumah kontrakan. Sementara itu, untuk membantu jalannya perekonomian keluarga, Emak jadi kuli cuci, sedangkan sepulang sekolah saya menjadi loper koran.
Suatu hari entah persisnya kapan, mayat Abah diketemukan bersimbah darah. Menurut cerita orang-orang, Abah  dibunuh oleh sekelompok preman yang gusar karena Abah tak mau bayar uang keamanan kepada mereka.
Sepeninggalan Abah, hidup kami morat-marit tak karuan. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pernah sempat saya dan Emak tidur di gerbong kereta. Saya terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena Emak tak mampu membiayai. "Wong untuk makan saja susah," begitu kata Emak.
Akhirnya, kami terjerumus ke lembah hitam. Emak jadi pelacur di Tanah Abang. Entah bagaimana awalnya, Emak mau jadi pelacur. Satu yang pasti, kehidupan kami  mulai membaik. "Mudah-mudahan tahun depan kamu sudah bisa sekolah lagi," begitu tutur Emak yang menggadaikan tubuhnya untuk memuaskan birahi, demi lembaran kertas bernama uang. Belum sempat aku meneruskan sekolah, Emak pun menyusul Abah, meninggal karena terkena penyakit kotor. Tinggallah saya sendirian. Tak tahu harus bagaimana. Harus kemana.
Uaah... saya menguap. Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih meringkuk bertabur dengkuran. (Kelak di kemudian hari, gembel tua itu akan saya panggil dengan sebutan Abah). Dan saya pun  terlelap di sini. Di bangku terminal.
***
Ciputat, siang tadi.
Namaku Aryani. Ayah dan dua kakak tiriku memanggil dengan sebutan Nona Bego. Entah apa sebabnya, mungkin lantaran aku ini memang bego. Terkadang masih saja aku kutuki ketololanku tersebut. Kenapa aku terima begitu saja perlakuan ayah tiriku? Bukan, dia bukan ayah! Dia adalah iblis yang bertameng sebagai ayah. Coba pikir, ayah macam apa yang bisa meniduri anaknya, walaupun aku hanyalah anak tirinya? Tetap saja aku masih anaknya.
Entah sudah berapa kali Ayah meniduriku. Untung saja aku tak hamil. Sebab jika aku hamil, harus panggil apa anakku terhadap ayah sekaligus juga kakeknya? Usiaku baru dua belas tahun waktu itu.
Aku akhirnya melarikan diri dari rumah, berkelana. Menarikan lekuk tubuhku yang mulai terbentuk karena sekarang aku sudah enam belas tahun. Asal tahu saja, aku bukanlah pelacur. Dan tak mau aku menjadi pelacur, tak akan pernah.
Terus meliuk aku mengikuti ritme gelombang kehidupan ciptaan manusia. Meski terkadang aku teramat lelah untuk menjadi manusia. Aku rindu Ibu, rindu hangat pelukannya. Lembut suaranya kalau mendongengkan senandung tembang jiwanya. Hingga akupun terlelap di dalam pelukan nyamannya. Aku rindu Ibu.
Aku yakin, di alam sana Ibu menangis melihat nasib putrinya ini. Ibu, berilah Ar kekuatan. Kembali aku hanyut dalam kepiluan, hiruk pikuk kendaraan tetap melaju tak peduli dengan jerit batin ini. Kuhampiri tenda warung tegal memainkan sebait lagu, berharap  ada sekeping atau dua yang masuk ke saku.
Senja mulai merayap, semburat kilau jingganya menyapu permukaan. Ragaku lelah, seperti halnya dengan mentari yang mulai mengantuk perlahan masuk ke dalam peraduan. Tapi di mana peraduanku? Aku jadi ingat dengan seorang teman, seorang sahabat yang selalu bersedia mendengarkan setiap keluhku. Di mana dia sekarang? Tak terasa sudah sebulan kami tak saling sua.
Wisnu, nama temanku itu. Tapi aku lebih suka memanggilnya Simon atau si Monyong. Karena ketika dia marah, bibir tebalnya itu terlihat lebih monyong. Seperti bibir... hi...hi... Aku jadi terkikik sendirian. Rindu aku padanya, masihkah dia di terminal Lebak Bulus? Setelah menimbang-nimbang sejenak, akupun memutuskan untuk mengunjungi Simon nanti malam. Di terminal Lebak Bulus, semoga dia masih di sana.
***
Malam ini di tempat kemarin.
Panggil saya Simon. Malam kian menghitam, kelam bertebaran   tutupi warna angkasa yang muram. Dengan segenap kelelahan, dari bangku terminal ini saya tatapi sang malam. Gembel tua itu sudah terlelap di tempat yang kemarin.
Malam ini.
Sungguh amat ingin saya berkata-kata, membagi cerita, angan, serta harapan. Tapi pada siapa? Saya tebarkan pandangan ke sekeliling, cuma temaram sinar lampu menyapa resah nurani ini. Saya tebarkan pandangan ke angkasa, mencoba untuk berkata-kata kepada bintang yang sedang mengedip manja, kepada rembulan yang tersenyum simpul di antara arakan awan masam.
Suara serak kekanak-kanakan itu, membuyarkan lamunan. Saya putar leher ke arah panggilan, seulas senyum terlontar dari bibir ini. "Ar!"
"Pa kabar, Mon?"
"Lumayan."
"Kamu?"
Ar tersenyum, "Sama."
Aku mendekatkan tubuh ke arah letak duduk Simon, butir getaran merambat perlahan. Sebuah gejolak aneh, yang entah datangnya darimana. Selalu saja hadir, mengusikku ketika aku dekat dengan Simon seperti malam ini.
Aku pandangi Simon, dia tersenyum ketika mata kami saling taut. Entah dapat keberanian darimana aku bertanya. "Kenapa kamu tak pernah mau, Mon?"
Simon mengernyitkan alis tebalnya, kemudian balik bertanya, "Mau apa?"
Aku jadi tersipu, sejenak tertunduk. Sebelum kembali aku pandang sipit bola mata Simon, "Bukan apa-apa," sahutku berbohong. Kembali aku geser letak duduk lebih merapat ke arah Simon.
***
Hangat tubuh Ar mendamaikan, sungguh! Hasrat berkata-kata yang tadi amat meletup-letup menjadi redup. Saya lebih suka diam, menikmati hangat tubuh Ar. Tanpa sadar saya pun merangkul pundaknya, dan kemudian merebahkan kepalanya ke pundak. Dengan lembut saya remas-remas rambut lurusnya yang dibiarkan oleh Ar terurai sepundak. Memainkannya dengan jemari.
Ada semacam getar yang terus mengusik saya, ada sebuah tanya yang mengganjal lubuk hati ini. Mungkinkan gembel macam kami bermain asmara, membina suatu hubungan untuk kemudian mengikatnya dalam sebuah tali perkawinan? Cuma suara dengkuran gembel tua yang  meringkuk di sudut sana menjawab tanya saya.
"Bisakah kita?"
"Bisa apa, Mon?" tanya Ar.
"Menjadi sepasang kekasih?" tanya saya ragu.
"Bisa saja."
"Kamu yakin?"
"Yang terpenting itu cinta. Jika ada cinta, apa pun bisa, apa pun menjadi boleh."
Saya cuma terdiam, masih memainkan helai-helai rambut Ar. Tiba-tiba saja Ar mendongakkan wajahnya, kemudian mencium bibir ini. Saya cuma mengikuti naluri, kemudian kami pun sudah saling mengulum bibir mesra. Bersemaikan birahi, di atas bangku terminal yang mulai berdecit teratur. Kami bercinta, merengkuh nikmatnya madu dosa.
Saya pun sadar, kami cumalah gembel jalanan. Tapi tak bolehkah kami turut merasakan manisnya cinta? Mencicipi sedikit kebahagiaan? Meski cuma di atas bangku terminal bukan di ranjang empuk bersprei perak?
Ar sudah tertidur dalam pelukan, getar napasnya terdengar beraturan. Dosa, rasa itulah yang menghantui. Saya hela napas panjang, tapi kenapa terasa begitu damai! Saya peluk tubuh Ar, membisikkan kata sayang di telinganya. Ia pun menggeliat manja, saya kecup keningnya.
Sejenak saya pandangi gembel tua yang masih saja mendengkur di sudut sana. Yang sama sekali tak dipusingkan oleh tanya tentang cinta, saya lemparkan senyuman kepada gembel yang masih terlelap itu. Kemudian saya peluk erat-erat tubuh Ar (yang kelak di kemudian hari nanti akan saya panggil dengan sebutan Mama).
Ooo...aah...uuumm, saya menguap. Dua hitungan kemudian memejamkan mata. Dan tertidur di atas bangku terminal, seraya mendekap erat tubuh Ar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar